Ternyata ada alasannya. Orang gemuk akan patah lehernya setelah merosot sedikit saja, sebab badannya besar. Tapi orang kurus perlu diberi kesempatan merosot lebih jauh. Rantai di palang itu berguna untuk mengatur panjang-pendeknya jarak jatuh.
Jenazah tak boleh berayun
Hughes meminta Dickinson naik tangga untuk imemasang tali di rantai, lalu Pollard disuruh berdiri di tengah pintu jebakan. "Masukkan tangan di saku," perintahnya pada Pollard.
Begitu hal itu dilaksanakan, secepat kilat kepala Pollard diselubunginya dengan kain dan tahu-tahu tali gantungan sudah terkalung erat di leher rekan kami itu. Kami tertawa terbahak-bahak, sementara Pollard menyumpah-nyumpah dari balik penutup kepalanya.
"Tenang, tenang," kata Hughes pada Pollard. "Eh, yang lain jangan tertawa-tawa dulu, sebab kalian semua akan mendapat giliran."
Hughes meminta perhatian kami, agar meletakkan logam berlubang pada kalung leher itu di bawah dagu kami.
Kalung mesti erat, tetapi tidak boleh sampai mencekik. Kalau posisi kalung sudah tepat, maka gelang karet pada tali diturunkan, sehingga posisi kalung tidak berubah-ubah lagi.
(Baca juga: Bukan China, Proyek Kereta Semi Cepat Jakarta-Surabaya ‘Dieksekusi’ Jepang)
"Buat apa sih pakai selubung segala?" tanya Pollard.
Konon selubung mencegah orang yang akan digantung menyaksikan detik-detik terakhir. Bayangkan, bagaimana rasanya bila ia melihat algojo melepaskan pengungkil pintu jebakan.
Mungkin saja ia semaput atau melompat. Kalau hal itu terjadi, posisi kalung leher bisa berubah dan kematian tidak berlangsung cepat dan mulus.
Pagi itu kami pakai untuk mempelajan teknik mengikat pergelangan tangan dan pergelangan kaki teman. Hughes menjelaskan bahwa ikatan dimaksudkan untuk mencegah orang yang akan digantung itu kabur, tetapi sama sekali tidak boleh menyakitkan atau membuat panik.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR