Rambut mereka umumnya panjang-panjang hingga ke kaki. Sayang sekali rambut-rambut indah itu tertutup rapat di balik topi yang dihiasi koin-koin perak dan membuat mereka nampak mencolok dari suku-suku lain.
Ketika wanita suku Dao berusia 13 tahun, pihak keluarga membuat perayaan dan menutup kepala putri mereka dengan penutup kepala khas.
Sementara keluarga yang memiliki anak laki-laki harus mengadakan upacara pemberian nama untuknya saat berumur 10 tahun.
Upacara perkawinan mereka pun unik. Pasangan muda yang akan menikah menyanyikan lagu untuk pasangannya (semacam berbalas pantun di Sumatra Barat).
Isi lagunya berupa gambaran atribut fisik dan kemampuan mereka dalam pertanian.
Sementara itu wanita suku Giay juga mempunyai pakaian tradisional yang disulam dengan baik pada blus, roknya yang lebar dan berat, maupun lilitan kain yang menutupi lutut hingga mata kaki dengan warna-warni yang meriah.
Menurut cerita, sulaman khas suku ini dulunya jauh lebih rumit daripada sekarang yang, menurut mereka, lebih sederhana.
Para wanita Giay mempunyai status yang rendah dibandingkan dengan kaum prianya. Mereka seolah-olah terlahir untuk mengabdi: pada ayahnya sebelum menikah, pada suaminya setelah kawin, dan pada anaknya setelah kematian suaminya.
Perkawinan itu sendiri pada dasarnya lebih menyerupai "menjual" anak gadis untuk kehidupan yang lebih baik. Saat ini kaum muda Giay sudah berani menikah dengan orang dari suku lain.
Suku Tai yang punya hubungan sangat erat dengan minoritas di Thailand Utara mempunyai bahasa yang mirip dengan bahasa Thai dan Laos (bahasa Laos hampir samg dengan bahasa Thailand).
Nenek moyang suku ini berimigrasi ke Vietnam pada awal abad-sebelum Masehi.
Di suku ini sudah merupakan hal yang lumrah jika anak yang lebih tua berstatus lebih tinggi dibandingkan dengan adiknya.
Saat ini suku Tai banyak yang hidup di perkampungan bersama suku lain, serta melakukan pernikahan campuran dan bahkan meninggalkan sikap hidup tradisional mereka untuk hidup di daerah lain.
Suku ini diangap paling dapat beradaptasi dengan kebudayaan Vietnam.
Di Sapa sendiri suku ini tidak banyak ditemui. Namun ini sulit dipastikan karena banyak dari mereka yang telah melepaskan busana tradisionalnya dan menggantinya dengan busana yang umum dipakai penduduk Vietnam lainnya.
Setelah dua hari melihat keramaian di pasar Sapa, kami mencoba untuk dapat mengamati dari dekat kehidupan suku minoritas ini.
Maka kami pun hiking ke perkampungan suku Hmong yang terletak cukup jauh dari Sapa. Kehidupan mereka ternyata benar-benar sangat sederhana.
Satu, keluarga hidup dari bertani dengan hanya memiliki sedikit tanah garapan.
Untuk lauk pauk umumnya anak lelaki tertua di keluarga tersebut mencari ikan di sungai, sementara anak perempuan membantu ibunya memasak dan menenun kain untuk dijual ke pasar pada hari pasar. Pembagian tugas ini mulai berjalan sejak mereka kecil.
Empat hari berada di Sapa membuat saya sulit melupakan kota kecil yang menarik ini, dan berjanji suatu saat akan kembali mengunjunginya.
Dengan harapan suku-suku minoritas itu tetap mempertahankan tradisi mereka, tidak terpengaruh oleh budaya tuns asing yang semakin banyak berkunjung ke kota ini. (Vryedta Tjandra Ilfia)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1996)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR