Advertorial
Intisari-online.com -Jika kita mau sedikit merenungkan, sebenarnya hampir semua orang memiliki kecenderungan yang sama merasa dirinya lebih baik ketimbang orang lain.
Kita cenderung percaya bahwa kita jauh lebih baik dari orang lain ketika kita melakukan sebuah perbuatan baik.
(Baca juga:Masih Terus Menganggap Pandangan Anda yang Paling Benar? Simak Dulu Kisah Ini!)
Misalnya, ketika kita mendonorkan darah, memberi sumbangan, memperlakukan orang dengan sopan, memberi kursi pada ibu hamil dan lansia. Ada perasaan di lubuk hati kita yang terdalam, bahwa kita lebih baik dari orang lain.
Dalam sebuah studi yang dilakukan peneliti University of Chicago Booth School of Business dilansir dari psychcentral.com, mencari tahu mengenai fenomena ini.
Apakah benar orang cenderung merasa dirinya lebih bermoral dari orang lain ketika ia berbuat baik?
Atau apakah orang cenderung merasa lebih suci ketimbang orang lain ketika ia berbuat baik?
Jawabannya selaras dengan pemikiran di awal tadi. Bahwa kecenderungan merasa lebih benar, lebih suci, dan lebih bermoral memang dimiliki oleh manusia.
Nah, kecenderungan ini terjadi karena kita biasanya mengevaluasi diri kita dengan cara berpikir dan penilaian kita sendiri.
Tanpa mempertimbangkan perspektif lain di luar diri sendiri.
Perspektif yang sangat kuat ketika menilai diri sendiri ini bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Seperti agama, politik, keyakinan, prinsip, latar belakang, dll.
Untuk masalah hati dan penilaian diri sendiri ini penanganannya memang kembali pada diri kita masing-masing.
Perlu diingat bahwa kita tidak selalu benar.
Atau sekalipun kita merasa benar, orang lain belum tentu salah. Karena itu kita perlu menguji kebenaran kita sendiri.
(Baca juga:14 Alasan Ibu Merupakan Role Model Paling Baik)
Persoalannya adalah banyak orang yang kebablasan sehingga sangat yakin dan percaya bahwa dirinya adalah yang paling benar.
Menghadapi orang-orang seperti ini cukup sulit karena pola pikir dan perilakunya yang sangat menyebalkan.
Untuk kasus ini, biasanya terjadi karena:
- Ego. Merasa bahwa dirinya lebih penting sehingga pandangannya pastilah juga lebih benar dan penting.
- Percaya diri yang semu. Karena dalam kenyataannya ia tidak benar-benar yakin bahwa dirinya sendiri benar.
- Merasa bijak ketika membenarkan diri sendiri. Hatinya dikuasai keinginan untuk menjadi bijak, tapi justru membuatnya terlihat tidak bijaksana.
Bagaimana cara menghadapinya?
- Jika kita bisa menghindarinya, sebaiknya hindari saja. Tapi jika kita memang harus berhadapan dengannya, sebaiknya mempersiapkan diri dengan pemikiran yang jelas tentang apa yang harus kita katakan di hadapannya.
- Jangan berusaha menyerangnya dengan fakta yang dibuat-buat, sebaiknya berikan fakta benar.
- Jangan membenarkan maupun menyalahkan pendapatnya.
- Tetap menghormati opininya dan tidak menganggap diri sendiri yang paling benar.
(Baca juga:Julia Stakhiva, Wanita yang Merasa Dirinya Terlalu Cantik untuk Jadi Pegawai Kantoran)
- Berbicaralah dengan sopan dan penuh hormat.
- Sebisa mungkin, alihkan topik pembicaraan yang menjurus ke pembenaran diri.