Tak Heran, Inilah Penyebab Gerai 7-Eleven Tutup Di Indonesia

Tjahjo Widyasmoro

Editor

Pernah menjadi gerai favorit anak muda, tahun ini 7-Eleven menutup seluruh gerainya
Pernah menjadi gerai favorit anak muda, tahun ini 7-Eleven menutup seluruh gerainya

Intisari-Online.com – Pemilik gerai retail 7-Eleven sudah mengumumkan bahwa mereka tidak akan beroperasi lagi di Indonesia per 30 Juni 2017.

Kabar ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan masyarakat, mengingat sejak setahun terakhir ini satu per satu gerai 7-Eleven di Jakarta sudah tidak beroperasi lagi.

Namun pada tahun 2017 ini akhirnya PT. Modern International, Tbk selaku pemegang merek 7-Eleven di Indonesia benar-benar mengumumkan penutupan seluruh gerai.

Gerai 7-Eleven sendiri sebenarnya dikelola oleh anak perusahaan Modern International yakni PT. Modern Putraindonesia. Jumlah gerai 7-Eleven pernah mencapai 187 gerai pada 2015

Sebagai perusahaan publik, PT. Modern International, Tbk. telah menyampaikan pengumpuman resmi kepada Bursa Efek Indonesia pada Jumat (23/6).

Pada intinya, PT. Modern menyebutkan, penutupan itu terkait dengan kegagalan kesepakatan penjualan franchise dengan PT. Charoen Phokphand Restu Indonesia.

"Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai7-Eleven setelah rencana transaksi material atas penjualan dan transfer segmen bisnis restoran dan convenience store oleh Charoen Phokphand Restu Indonesia mengalami pembatalan," tulis manajemen Modern Internasional seperti dikutip Kompas.com.

Akan tetapi ada sebuah catatan menarik dari Yodhia Antariksa, blogger yang banyak menulis tentang manajemen di blog miliknya strategimanajemen.net.

Menurut Yodhia, kegagalan 7-Eleven disebabkan karena pembelinya tidak seperti yang diharapkan oleh pengelola. Bukan pembeli yang berbelanja dalam jumlah banyak, melainkan anak-anak muda yang membeli minuman ala kadarnya (murah maksudnya) lalu nongkrong berjam-jam.

“Akibatnya cukup fatal : pemasukan sedikit, sementara investasi tempat dan bahan untuk menyiapkan makanan premium telanjur amat mahal. Cost besar, pemasukan sedikit. Ujungnya kolaps,” tulis alumnus dari Texas A&M University di bidang HR Management itu.

7-Eleven, menurut Yodhia, adalah contoh penerapan strategi produk yang stuck on the middle. Tidak jelas. Mau menghadirkan layanan premium seperti Starbucks, tidak bisa.

Mau gunakan prinsip supermarket efisien seperti Indomaret, namun sudah telanjur terkesan premium produknya – karena harus menyewa lahan di lokasi strategis yang amat mahal.

Harap diketahui, tambah Yodhia, menyiapkan menu makanan seperti yang disediakan 7-Eleven (spaghetti, nasi goreng instan, salad) itu mahal ongkosnya. Dan yang pahit : jika tidak laku harus dibuang. Jadi waste-nya amat sangat mahal.

Celakanya, menu varian makanan premium yang bahan bakunya mahal dan harus dibuang jika tidak laku itu; tidak banyak yang beli.

Kebanyakan pembeli adalah anak-anak muda yang cuma beli makanan murah lalu nongkrong berjam-jam di lokasinya.

Menurut Yodhia, ada satu pelajaran yang penting dari kejatuhan 7-Eleven: “Inovasi itu penting, namun jika inovasinya salah sasaran, bisa memberikan bumerang yang high-cost. Pilihan strategi produk yang tidak pas ternyata bisa membuat sebuah bisnis terjungkal dengan penuh luka.”