Dari segi kemungkinan akan terjadinya gangguan pressurized ruang bagasi, sebenarnya tidak masalah kalau pesawat tidak terbang melebihi 10.000 kaki.
Meskipun bagasi terbuka, secara keseluruhan pesawat tidak akan mendapat imbas apa pun selama belum terbang melampaui ketinggian 10.000 kaki.
Jika pesawat itu take-off dan selanjutnya akan mendarat kembali, maka cukup dengan terbang pada ketinggian sekitar 2.000 atau 3.000 kaki saja sebelum turun ke landasan. Hanya saja, bisa jadi setelah mengudara dan melakukan manuver "bang" atau miring dan menurun, isi bagasi berjatuhan.
Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa biasanya barang di bagasi diikat dengan baik. Jenazah yang diangkut umumnya diletakkan di kompartemen barang di bawah kabin.
Dengan begitu, dalam kasus ini keputusan apa pun yang diambil pasti memiliki risiko. Tinggal bagaimana mengolahnya sehingga keputusan yang diambil memiliki risiko minimal.
Kalau fungsi rem atau mekanisme pengereman berjalan normal, mungkin pesawat dapat berhenti sebelum ujung landasan (sambil melihat pertimbangan kebasahan landasan dan berat muatan).
Kalau pilihannya terus take-off, ada kemungkinan kompartemen bagasi terbuka dan isinya yang tak terikat kuat akan berjatuhan. Dalam hal ini, beban psikologis bertambah dengan adanya muatan jenazah.
Baca Juga : Bukan Cuma karena Kesalahan Teknis , Kecelakaan Pesawat Juga Bisa Terjadi Gara-gara Logat Pilot
Jadi, mana yang harus dipilih?
Bisa menjurus ke obsesif kompulsif
Pilot, dalam waktu amat singkat, dihadapkan pada suatu dilema dan harus segera membuat keputusan. Pada kasus F-28 MNA, pilot mengambil keputusan pertama, yakni mengerem.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR