Waktu Halida kecil, ia menganggap peristiwa itu biasa saja, karena dokter mempunyai kebiasaan berjalan-jalan di pagi atau sore hari dan kebetulan lewat rumah kami.
Namun, setelah ia mulai besar, kenangan masa kecil itu membekas. Betapa mengharukan, pikirnya, ada kenalan ayah yang menaruh rasa hormat terhadap perjuangan beliau untuk tanah air.
Ia bukan sekadar mampir, tetapi memerlukan datang untuk memberi selamat pada Bung Hatta.
Halida yakin, dalam hati, ayah kami sangat menghargai ucapan selamat dari dr. Hazniel yang tulus itu.
Ada pula beberapa orang yang melakukan hal serupa, seperti Pak Wangsa Widjaja, Dr. Halim, Mr. Oei Jong Tjioe, Bapak Arnold Mononutu, Laksmana John Lie, dll.
Pada tahun 1979, ketika Bung Hatta sedang sakit dan tak dapat nadir di Istana Merdeka, saya menemani ayah bersama suami dan putri saya, Sri Juwita Hanum (4).
Ibu dan Halida hadir di istana mewakili beliau dan kami melihat mereka dari TV. Seusai acara, seperti biasa saya dan Hanum mencium pipinya.
Kami membeli balon berwarna merah putih, sekadar untuk memperingati peranan beliau dan menanamkan pada diri Hanum tentang arti merah putih dan peranan datuknya.
Tak lama kemudian Gemala datang bersama suami dan anaknya, Athar, yang baru berusia delapan bulan.
Suasana bertambah ramai dengan pulangnya Halida dan ibu dari istana, dan kami pun membuat beberapa foto bersama ayah.
Saya memotret ayah saya bersama kedua cucunya, Hanum dan Athar. Ternyata hanya itulah satu-satunya foto beliau dengan kedua cucunya.
Itulah pula foto terakhir beliau bersama keluarga pada saat 17 Agustus, karena pada bukan Maret di tahun berikutnya beliau kembali ke pangkuan Illahi.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR