Setibanya di tempat itu saya terus menuju ke rumah administratur. Para Menteri yang berkumpul di kamar tamu sedang menyusun "teks perintah penghentian tembak menembak" ("cease-fire order") yang akan diucapkan Presiden k pada jam 20.00. Membikin teks cease-fire order rupa-rupanya tidak begitu mudah seperti saya kirakan.
Sementara itu saya pergi ke bagian lain dari perkebunan itu yang telah disulap menjadi studio darurat oleh petugas-petugas P.T.T. bagian radio di bawah pimpinan aim. sdr. Soedirdjo (ayah Ny. Artati Marzuki) dan sdr. Rubin Kain.
Studio didirikan di dalam sebuah gudang, terletak kira-kira 50 M di bawah rumah administratur. Dengan suara yang sedikit bergetar, jam 20.00 tepat Presiden mengucapkan perintahnya kepada Angkatan Bersenjata untuk menghentikan tembak-menembak.
Baca Juga : Begini Rumitnya Proses Seleksi Pramugari Garuda Indonesia, Profesi dengan Gaji Hingga Puluhan Juta Rupiah
Perintah ini direlay ke radio Yogyakarta dan dari sana disiarkan ke seluruh penjuru dunia, sehingga cease-fire order ini seolah-olah diucapkan dari Yogyakarta.
Demikianlah satu cuplikan sejarah, yang mungkin belum diketahui orang banyak.
***
Kisah berikutnya terjadi dalam waktu pendudukan Yogyakarta oleh tentara Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda menyerbu ibu kota R.I.
Persiden Sukarno, Wk. Presiden Muh. Hatta, Menteri Luar Negeri H.A. Salim dan beberapa anggota Kabinet dan orang-orang penting lainnya ditangkap oleh serdadu-serdadu Belanda dan segera diangkut dengan pesawat terbang ke Jakarta.
Baca Juga : Rupiah Semakin Melemah, Produsen Tempe dan Tahu Jadi ‘Galau’
Selanjutnya mereka diasingkan ke Prapat dan sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke Manumbing di Pulau Bangka.
Jam 9 pagi tanggal 19 Desember sebuah jeep dengan empat serdadu masuk di halaman rumah .saya. Dengan senjata otomatis di tangannya mereka memasuki rumah saya, dan terus menggeledah rumah; tidak ada tempat di dalam rumah yang terlepas dari penggeledahannya.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Adrie Saputra |
KOMENTAR