Advertorial
Intsiari-Online.com – Pada akhir Oktober 1946 Pemerintah RI mengeluarkan mata uang rupiah untuk mengganti uang Jepang yang pada waktu itu masih berlaku di daerah Republik Indonesia.
Berikut ini kisah Sukardan SH tentang Oeang Republik Indonesia (ORI) dalam berbagai kisahnya yang dituliskan dalam “Oeang Kiblik” yang Membawa Cerita, dan dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1977.
Dasar penukaran di pulau Jawa adalah 50 rupiah uang Jepang disamakan dengan 1 rupiah uang Republik (ORI).
Sehari sebelum berlakunya Uang Republik, Menteri Keuangan Mr. Sjafrudin Prawiranegara mengadakan "rapat penerangan" di Yogyakarta, yang dihadiri pula oleh pers.
Dengan gayanya yang khas, Sdr. Sjafrudin membalas semua pertanyaan dengan penuh keyakinan sampai pada pertanyaan yang terakhir.
Salah seorang mengajukan dengan sungguh-sungguh pertanyaan sbb: "Kalau seandainya nanti malam ada suatu keluarga mendapat kemalangan dengan meninggalnya salah seorang anggota keluarga, sedangkan keluarga tidak mempunyai uang sama sekali, apa yang harus kami perbuat dan apa yang akan terjadi?" (Uang Republik berlaku mulai pukul 12 malam)
Sdr. Sjafrudin berpikir sejenak dan menjawab dengan wajah yang tiada tergerak: "Bagaimanapun juga, saya yakin bahwa jenazah akan dikubur."
Pada hari pertama berlakunya ORI, kebanyakan orang tidak mempunyai uang. Kalau mempunyai, paling banyak Rp 1,- ORI seorang.
Juga jawatan-jawatan baru pada hari pertama ini mendapatkan "modal permulaan" melalui Kementeriannya masing-masing.
Baca Juga : Dato Sri Tahir Tukar Dolar Jadi Rupiah Senilai Rp12 Triliun, Ini Kekayaan dan Aset yang Dimilikinya
Seperti halnya dengan semua pendatang baru, saya yang waktu itu menjadi sekretaris (kemudian Sekretaris Jendral) Menteri Muda Perhubungan tidak mempunyai ORI sama sekali. Untung, saya di Yogya mempunyai banyak saudara.
Seorang dari mereka memberikan saya Rp 0,50 ORI, "kanggo cekelan," (untuk pegangan) katanya. Dengan uang 50 sen ORI sdr. Ir. Djuanda yang ketika itu menjadi Menteri Muda Perhubungan dengan saya sore harinya naik andong dari Malioboro 10 putar kota kira-kira ½ jam untuk mencoba "kesaktian" ORI.
Setibanya kembali di Malioboro 10 saya berikan pada sang kusir 15 sen ORI. Hampir tidak dapat dipercaya, sang kusir menyambut pembayaran saya itu dengan : "matur nuwun, den." (terima kasih, den-raden).
* * *
Dalam bulan Nopember 1946, waktu saya untuk keperluan dinas beberapa hari berada di Jakarta, saya mengetahui dengan bangga, bahwa imbangan uang ORI terhadap "gulden" adalah Rp. 1,- ORI sama dengan 1,60 gulden.
Para pedagang, penduduk asli Jakarta sangat gembira kalau "orang kiblik" membayar mereka dengan ORI; malahan ada seorang pedagang yang penuh haru mencium ORI ini. Demikianlah penduduk Jakarta menyambut uang Republik.
Yang menjadi problem waktu itu ialah bagaimanakah caranya memasukkan ORI itu ke Jakarta. Hal ini diserahkan kepada kebijaksanaan Menteri Perhubungan.
Untuk mengangkut pembesar-pembesar R.I dari Yogyakarta ke Jakarta dan sebaliknya, pada waktu itu (1946) dipergunakan apa yang disebut KLB (kereta api luar biasa) Pemerintah.
Pada suatu sore sesudah tutup kantor pada akhir bulan Oktober 1946 (tanggal yang tepat sudah lupa) menurut janji datanglah di Kementerian Perhubungan, Jl. Malioboro 10, sebuah truk kosong yang dikemudikan oleh sdr. Basuki (pada waktu itu kepala bengkel kereta-api Pencok, Yogyakarta).
Baca Juga : Jos, Mantan Office Boy yang Berhasil Jadi Bos Empat Perusahaan Beromzet Puluhan Miliar Rupiah
Di Kementerian Perhubungan telah siap menanti-antikan kedatangan truk: sdr. Ir. Abdulkarim (bekas Menteri Perhubungan R.I.,) sdr. Moh Soebari (pegawai tinggi Kem. Perhubungan) dan saya.
Diam-diam kami berempat mulai bekerja. Peti-peti berisi ORI baru dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan satu demi satu dimasukkan ke dalam truk. Karena tidak ada tempat lain, uang berjuta-juta itu hanya disimpan di kamar mandi dan di kamar kerja Menteri, yang untuk keperluan itu selama beberapa waktu tidak dipakai.
Setelah peti-peti yang harus diangkut selesai dimuat, maka truk dengan muatannya menuju ke bengkel k.a. Pencok. Di sini telah siap rangkaian KLB Pemerintah yang esok harinya akan diberangkatkan ke Jakarta.
Di bawah tempat duduk dimasukkan peti-peti uang, yang ditutupi dengan sebuah papan, dan supaya tidak lepas, penutup papan itu disekrup dengan tempat duduk.
Baca Juga : Rupiah Melemah di Angka Rp15.182, Krisis di Italia Disebut sebagai Salah Satu Penyebabnya
Esok harinya KLB berangkat ke Jakarta, mengangkut beberapa menteri dan pegawai-pegawai R.I. Dengan hati yang berdebar-debar kami di Kementerian Perhubungan menunggu berita dari Jakarta. Baru jam 20.00 kami menerima kawat yang mengabarkan bahwa KLB tiba di Jakarta dengan selamat.
Semua penumpang yang diangkut dengan KLB tersebut di atas tidak ada yang mengetahui, bahwa kereta-api ini mengangkut ORI, kecuali seorang penumpang dengan cara kebetulan, ialah dr J. Leimena (Menteri Kesehatan).
Beliau menceritakan pada saya, bahwa dalam perjalanan ke Jakarta beliau merasa lelah sekali dan secara relaks tangannya menggantung di samping kursi duduk. Tidak disengaja tangannya meraba-raba di bawah kursi dan tangannya menyentuh sesuatu di bawah kursi.
Waktu "barang sesuatu" itu diangkat dan dilihat, maka terbukti bahwa barang itu adalah Uang Republik. Beliau kagetnya bukan main, dan cepat-cepat uang itu dikembalikan ke tempat semula. Beliau pura-pura ketiduran, tetapi hatinya merasa berdebar-debar dan mendoa supaya cepat-cepat sampai di Jakarta.
Baca Juga : Si Balita 'Mencabik-cabik' Uang Jutaan Rupiah, Orangtuanya Bukannya Marah Justru Tertawa Bahagia
Pada akhirnya kereta-api sampai di Jakarta dengan selamat dan setelah penumpang turun, maka kereta-api terus ditarik ke bengkel Manggarai, yang pada waktu itu masih seratus persen dalam kekuasaan R.I.
***
Cerita di bawah ini terjadi setelah Clash I dengan pihak Belanda (21 Juli 1947).
Setelah tentara Belanda dengan alat persenjataan yang modern menyerang Republik kita dari segala jurusan dan praktis berhasil mengepung Yogyakarta dari 3 jurusan, maka Pemerintah R.I. meminta PBB supaya PBB memberikan jasa-jasa baiknya dalam hal penyerbuan tentara Belanda ini, sedangkan Pemerintah R.I. sudah bersedia untuk menjalankan perjanjian Linggarjati.
Pada akhirnya Dewan Keamanan PBB memerintahkan kepada Belanda dan Indonesia untuk mengadakan penghentian tembak-menembak ("ceasefire").
Baca Juga : 5 Prosedur Operasi Plastik Paling Mahal, Ada yang Mencapai Ratusan Juta Rupiah
Dalam pada itu Kabinet Sjahrir jatuh dan diganti oleh Kabinet Amir Sjarifudin.
Untuk membicarakan situasi yang gawat ini, Kabinet Amir Sjarifudjin yang baru dibentuk tanggal 3 Juli 1947 mengadakan sidang Kabinet.
Pada waktu itu Gombong sudah jatuh di tangan musuh, dan tentara Belanda telah maju di front Utara dan Timur dan telah menduduki Magelang dan Mojokerto.
Sidang Kabinet dimulai jam 19.00 di gedung KNIP di jalan Malioboro dan pada kira-kira jam 20.30 sudah dapat diambil keputusan, bahwa malam itu juga Presiden dipersilahkan meninggalkan ibu kota Yogyakarta dan menyingkir ke tempat yang dianggap lebih aman.
Baca Juga : Rupiah Capai Titik Terburuk, Pengamat: Angka Boleh Sama, tapi Kondisi Jauh Berbeda dengan Krismon 1998
Oleh Menteri Perhubungan Ir. Djuanda, saya diperintahkan malam itu juga untuk menyiapkan sebuah KLB yang akan diberangkatkan dari setasiun Yogya, Tugu, ke jurusan Timur.
Menurut rencana kereta-api akan diberangkatkan jam 24.00. Jam 24.00 Presiden belum datang; jam 01.00. Presiden juga belum tiba di setasiun. Orang-orang mulai menjadi gelisah, dan khawatir jangan-jangan Presiden tidak mau meninggalkan ibu kota, karena waktu itu sedang sakit.
Saya sendiri juga menjadi makin gelisah, karena perjalanan yang direncanakan bagi Presiden harus dilakukan pada malam hari, untuk menghindari kemungkinan serangan oleh pihak Belanda dari udara.
Pada akhirnya jam 02.00 lebih, Presiden tiba di setasiun memakai mantel gabardine dan diiringi oleh Ny. Fatmawati dan seorang lelaki tua yang tidak saya kenal. Di belakang sendiri diikuti oleh dr. Leimena dan Ir. Djuanda (Menteri Perhubungan), yang oleh Kabinet ditugaskan untuk menjemput Presiden.
Baca Juga : Indonesia bisa Rugi Karena Triliunan Rupiah Habis untuk Dana Kecelakaan Lalu Lintas, Ini Kata Jasa Raharja
Esok harinya kereta-api dengan selamat sampai di stasiun Madiun. Beberapa mobil telah disiapkan untuk mengangkut rombongan ke tempat yang dituju ialah sebuah perkebunan di desa Kandangan di kaki gunung Lawu.
Setibanya di tempat itu saya terus menuju ke rumah administratur. Para Menteri yang berkumpul di kamar tamu sedang menyusun "teks perintah penghentian tembak menembak" ("cease-fire order") yang akan diucapkan Presiden k pada jam 20.00. Membikin teks cease-fire order rupa-rupanya tidak begitu mudah seperti saya kirakan.
Sementara itu saya pergi ke bagian lain dari perkebunan itu yang telah disulap menjadi studio darurat oleh petugas-petugas P.T.T. bagian radio di bawah pimpinan aim. sdr. Soedirdjo (ayah Ny. Artati Marzuki) dan sdr. Rubin Kain.
Studio didirikan di dalam sebuah gudang, terletak kira-kira 50 M di bawah rumah administratur. Dengan suara yang sedikit bergetar, jam 20.00 tepat Presiden mengucapkan perintahnya kepada Angkatan Bersenjata untuk menghentikan tembak-menembak.
Baca Juga : Begini Rumitnya Proses Seleksi Pramugari Garuda Indonesia, Profesi dengan Gaji Hingga Puluhan Juta Rupiah
Perintah ini direlay ke radio Yogyakarta dan dari sana disiarkan ke seluruh penjuru dunia, sehingga cease-fire order ini seolah-olah diucapkan dari Yogyakarta.
Demikianlah satu cuplikan sejarah, yang mungkin belum diketahui orang banyak.
***
Kisah berikutnya terjadi dalam waktu pendudukan Yogyakarta oleh tentara Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda menyerbu ibu kota R.I.
Persiden Sukarno, Wk. Presiden Muh. Hatta, Menteri Luar Negeri H.A. Salim dan beberapa anggota Kabinet dan orang-orang penting lainnya ditangkap oleh serdadu-serdadu Belanda dan segera diangkut dengan pesawat terbang ke Jakarta.
Baca Juga : Rupiah Semakin Melemah, Produsen Tempe dan Tahu Jadi ‘Galau’
Selanjutnya mereka diasingkan ke Prapat dan sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke Manumbing di Pulau Bangka.
Jam 9 pagi tanggal 19 Desember sebuah jeep dengan empat serdadu masuk di halaman rumah .saya. Dengan senjata otomatis di tangannya mereka memasuki rumah saya, dan terus menggeledah rumah; tidak ada tempat di dalam rumah yang terlepas dari penggeledahannya.
Yang dicari adalah senjata. Mereka bertindak cukup sopan. Kebetulan yang datang adalah serdadu-serdadu Belanda totok.
Di antara pejabat-pejabat penting yang tidak ditangkap oleh tentara Belanda dan tetap tinggal di Yogyakarta terdapat Menteri Perhubungan Ir. Djuanda.
Baca Juga : Nilai Tukar Rupiah Melemah, Indonesia Justru Masuk Daftar Negara dengan Risiko Krisis Moneter Paling Kecil
Pada akhir bulan Desember 1948 saya diminta datang oleh Ir. Djuanda untuk datang di rumah beliau, untuk diserahi suatu tugas.
Soalnya ialah sbb: Kabinet Amir Sjarifudin ke I memutuskan untuk mengeluarkan semua "uang merah", yaitu uang Belanda, yang terdiri dari uang kertas dan uang logam yang disimpan di Javansche Bank (Bank Indonesia) dari bank tersebut untuk selanjutnya disimpan di istana Paku Alam di bawah tanggung jawab Sri Paku Alam.
Uang ini telah dipergunakan Pemerintah untuk keperluan-keperluan penting. Saya diperintahkan untuk mempergunakan sisa uang itu untuk membantu perjuangan para pegawai R.I. yang masih setia kepada R.I.
Menurut penjelasan Ir. Djuanda, tugas yang sama akan tetapi untuk para anggota ABRI, dilakukan oleh Pangeran Bintoro dengan petunjuk-petunjuk dari Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX.
Baca Juga : Sri Mulyani: Tiap Rupiah Melemah Rp100, Penerimaan Negara Naik Rp4,7 Triliun
Saya adalah teman sekuliah dengan Sri Paku Alam waktu di Rechtshogeschool di Jakarta.
Kepada saya diperbantukan sdr. Soebagjo (aim), pada waktu itu sekretaris Kementerian Keuangan dan kebetulan juga termasuk masih kerabat (bahasa Jawa: sentono) Paku Alaman, dan seorang lain yang sudah tidak ingat namanya lagi.
Dalam pada itu Ir. Djuanda tidak memberikan petunjuk apa-apa kepada saya. Beliau mempercayakan pelaksanaannya kepada saya seluruhnya. Beliau hanya berpesan, bahwa kita (pegawai RI) harus dapat bertahan sedikit-sedikitnya sampai bulan Juli 1949.
Kami harus beroperasi di daerah yang seluruhnya dikuasai oleh musuh.
Sebagai langkah pertama kami bertiga menghadap Sri Paku Alam di istana Paku Alaman. Setelah diadakan pembicaraan- pembicaraan yang mendalam dengan Sri Paku Alam, kami mengadakan permufakatan sbb:
— Uang merah disimpan oleh Kepala Keuangan Paku Alaman.
— Yang dapat mengambil uang dari Paku Alaman hanyalah kami bertiga (sendiri-sendiri). Kalau kami tidak datang sendiri untuk mengambil uang, kami dapat mengirimkan utusan khusus yang harus membawa tanda-tanda tertentu.
— Jika dalam melakukan tugas kami tertangkap di Paku Alaman, kami harus mengatakan "akan" atau "baru" menghadap Sri Paku Alam (bahasa Jawa: caos).
— Operasi akan dimulai bulan Januari 1949.
Baca Juga : 10 Foto Mata Uang Rupiah Zaman Dahulu, Beberapa Pasti Belum Pernah Anda Lihat Sebelumnya
* * *
Saya masih ingat beberapa nama yang saya berikan bantuan langsung dengan mendatangi rumah mereka masing-masing. Dapat saya sebutkan di sini: Ny. Fatmawati, Ny. Rahmi Hatta (yang saya berikan dengan perantaraan Sdr. Rachim), Ny. Djuanda, Ny. Ali Sastroamidjojo, Ny. Moh. Roem, Ny. Agus Salim, Ny. Sjafrudin Prawiranegara, Ny. Gafar Pringgodigdo dll.
Uang yang diambil dari Paku Alaman itu semula terdiri dari uang kertas, tetapi setelah persediaan uang menipis dan tinggal pecahan besar, maka yang dapat diambil hanya "uang cring", yang terdiri dari uang logam ringgitan (dari perak).
Pekerjaan pengambilan dan pembagian ini tidak sedikit menegangkan urat syaraf saya, sehingga setelah saya melakukan tugas selama tiga bulan, saya melaporkan kepada Ir. Djuanda bahwa saya tidak sanggup melanjutkan tugas saya. Ir . Djuanda menjawab: "Bagaimanapun juga tugas harus diteruskan. Kalau sampai ditangkap oleh Belanda, bilang saja saya yang suruh."
"Ya, Bapak Djuanda bicara gampang saja. Nama Bapak sudah dikenal oleh pihak Belanda. Tetapi kalau saya sampai tertangkap, saya bisa mati konyol."
Baca Juga : Benarkah Menaikkan Harga BBM Bisa Membantu Nilai Rupiah Menguat?
Pada akhirnya saya masih menyanggupi lagi untuk melanjutkan tugas saya. Kalau dikehendaki sdr Takya anggota Polri yang kelak pensiun sebagai Jendral polisi akan membantu saya.
Dalam melakukan tugas saya, saya dibantu sepenuhnya oleh isteri saya. Pada suatu waktu tatkala suasana di Yogya agak berbahaya buat kaum lelaki, saya mengirimkan Ny. Soepeno Bustaman, isteri seorang pegawai tinggi P.T.T. dan sekarang berdiam di Bandung (suaminya telah meninggal dunia) untuk mengambil uang di Paku Alaman. Tugas ini diselesaikan dengan selamat oleh Ny. Soepeno Bustaman.
Dalam hal melakukan tugas ini, ada dua kejadian yang selamanya tidak akan hilang dari ingatan saya. Pada suatu hari pagi-pagi sekali datang seorang kurir ke rumah saya dengan membawa berita, bahwa salah seorang pembantu saya ditangkap oleh Belanda.
Saya memberikan isyarat kepada para pembantu lainnya untuk sementara menghentikan semua aktivitas sampai keadaan aman kembali.
Baca Juga : Tak Hanya Terhadap Dollar AS, Rupiah Juga Ada di Titik Terendah Terhadap Ringgit Malaysia
Beberapa hari kemudian, saya ditemani oleh isteri saya dan anak saya yang tertua (pada waktu itu umur 7 tahun) pergi ke Paku Alaman untuk mengambil uang. Kami masing-masing naik sepeda dan anak saya membonceng saya di belakang dan saya dudukkan di atas dua kantong berisi uang logam ringgitan; tiap kantong bernilai 500 gulden.
Karena jalan-jalan kerap kali dilalui tank-tank Belanda, maka jalan-jalan pada waktu itu di sana-sini mulai berlubang-lubang. Tiap kali sepeda melintasi lubang, maka selalu terdengar suara "cring- cring," sehingga saya menjadi gelisah dan takut, kalau melalui pos-pos Belanda.
Untuk membetulkan cara duduk anak saya, saya juga tidak berani, karena mungkin akan menimbulkan curiga bagi orang-orang yang melihatnya. Dengan sangat hati-hati dan memilih bagian-bagian jalan yang rata kami dapat melalui pos-pos Belanda yang paling "serem" terletak di sebelah Kantor Pos Besar dengan selamat.
Pada lain kali setelah mengambil uang dari istana Paku Alaman, saya meliwati Jl. Malioboro dari selatan menuju ke utara. Setelah sampai di Danurejan, saya melihat dari jauh banyak serdadu-serdadu Belanda berhelm putih (anggota polisi militer) memenuhi jalan Malioboro.
Baca Juga : Rupiah Anjlok, Benarkah Kondisi Ekonomi saat Ini Lebih Buruk Dibanding Krisis Ekonomi 1998?
Jantung saya hampir berhenti berdenyut. Untuk membalik saya juga tidak berani, karena saya sudah dapat dilihat oleh serdadu-serdadu Belanda. Jadi saya berjalan terus. Pada simpangan jalan Dagen, saya distop oleh seorang serdadu P.M. dan dipersilahkan membelok ke jalan Dagen, liwat Balokkan dan terus menuju ke jalan Malioboro lagi di dekat lintasan jalan k.a.
Dalam pada itu saya tidak diapa-apakan oleh serdadu-serdadu Belanda.
Apa yang sebenarnya terjadi? Hari itu adalah tanggal 30 April, hari ulang tahunnya Ratu Juliana. Masyarakat Belanda di Yogyakarta merayakan hari ulang tahun itu di Hotel Merdeka. Jalan Malioboro antara Jl. Dagen dan Jl. Balokkan ditutup untuk lalu lintas umum.
Sokongan sekedarnya kepada "orang-orang kiblik", yang masih setia kepada negara R.I., besar sekali artinya bagi perjuangan kita melawan Belanda untuk mencapai Indonesia Merdeka, karena ini memberikan sokongan moril yang sangat besar kepada mereka untuk tetap bertahan di Yogyakarta sebagai pegawai R.I.
Baca Juga : Rupiah Melorot, Mata Uang Negara-negara Ini juga Ikut Anjlok