"Itu ijtihad dan kreativisasi ilmu yang harus kita dukung secara apresiatif, adil, dan objektif tanpa sentimen kekuasaan atau dominasi oleh salah satu pendekatan."
Dengan mengapungkan tangan sedikit di atas kepala, Emha mengingatkan, puncak dari pencarian ilmu pengobatan atau ilmu penyehatan, baik tradisional maupun modern, adalah kesadaran seperti yang dicontohkan oleh kasus Nabi Musa yang sakit perut, tatkala ia bersama pasukannya dikejar-kejar oleh pasukan Firaun.
Musa mengeluh kepada Tuhan, dan Tuhan menjawab, "Pergilah ke atas bukit itu, ambillah daun yang ada di sana, makanlah supaya perutmu tak sakit."
Baca Juga : Dalam Buku Pamungkasnya, Stephen Hawking Tetap Nyatakan ‘Tidak Ada yang Namanya Tuhan’
Musa lalu lari naik bukit, tapi belum sempat menyentuh sehelai daun pun, perutnya sudah sembuh. la berterima kasih kepada Tuhan, kemudian turun.
Sesampai di tengah pasukannya, perutnya sakit lagi. Musa langsung berlari naik bukit, tapi kali kedua ini perutnya tak sembuh, meskipun ia sudah melalap berhelai-helai daun. Musa memprotes, "Ya Tuhan, bagaimana ini, sudah kukunyah berhelai-helai daun, tapi kok perutku tak sembuh juga?"
"llmu apa yang berkesimpulan bahwa daun itu bisa menyembuhkan sakit perut?" jawab Tuhan.
"Bukankah tadi Tuhan menyuruhku mengambil daun ini?" sergah Musa.
Baca Juga : 'Tuhan Tidak Menyerang Dua Kali': Cerita Orang-orang Palu yang Membangun Kembali Puing-puing Rumahnya
"Yang menyembuhkan perutmu adalah perkenan-Ku, bukan daun itu. Ketika sakit perut pertama kau minta tolong kepada-Ku, tapi kali kedua kau langsung lari mencari daun tanpa meminta tolong kepada-Ku. Daun itu, juga apa saja di dunia ini, termasuk ilmu dan pengetahuanmu, tak bisa menyembuhkan apa-apa. Yang menyembuhkanmu adalah kehendak-Ku, dan terserah Aku akan menyembuhkanmu melalui daun atau batu atau apa pun."
Wirid bukan keajaiban
Bagaimana dengan penyembuhan ala sufi, yang memiliki cara berbeda dalam mengalahkan segala penyakit fisik dan jiwa, hanya dengan mempraktikkan dzikirullah? Emha berulang kali menggeleng kecil.
Agak pelan nada suaranya. Setelah terlebih dulu menghirup napas dalam-dalam, meluncur kalimat demi kalimat dari ruang di antara bibirnya.
"Tasawuf, sufisme bukan kaum penyembuh manusia dari sakit. Sufi adalah jalan penyehatan hidup jasmanirohani. Sehat dalam perspektif yang lengkap dan komprehensif, jiwa dan raga, jasmani dan rohani, luar-dalam, bumi-langit, dunia-akhirat."
Baca Juga : Mengenal Lobotomi Prosedur Penyembuhan Penyakit Jiwa yang Tidak Manusiawi: Setidakmanusiawi Apa sih?
la sendiri mengakui, "Wirid bisa menolong proses seseorang melakukan konversi, tetapi sesungguhnya wirid itu dalam istilah medis lebih berfungsi preventif ketimbang kuratif."
Emha mengajak tetap berpijak pada akidah. Wirid bukan keajaiban, ia hanya alat sederhana yang diperlukan oleh kelemahan manusia, agar jiwa dan pikirannya tidak terpecah melebar ke segala sesuatu yang melemahkan hidupnya.
Sesungguhnya, wirid memelihara fokus dan konsentrasi hidup manusia pada suatu titik yang paling pantas dan rasional untuk ia jadikan pusat perhatian dan tujuan.
Kalau konsentrasi itu prima, maka kreativitas intelektualnya menjadi efisien dan efektif. Atmosfer kejiwaannya juga terhindar dari kepulan-kepulan takhyul yang merupakan isi utama dunia.
Baca Juga : Salah Kaprah, Sakit Saraf Dianggap Sama Dengan Penyakit Jiwa
Emha menggolongkan wirid ke dalam beberapa macam. Ada wirid global-general, wirid kontekstual, wirid preventif untuk proses conditioning langkah-langkah hidup, serta wirid kuratif yang mengarah pada sasaran tertentu agar memiliki daya pengobatan.
Namun, Emha pun punya kritik buat para pewirid. "Kelemahan kaum pewirid, mereka cenderung menyeram-nyeramkan wirid, memitologisasikannya, atau sangat digantungi solusi-solusi yang melebihi rasionalitas. Padahal, asas solusi atau prinsip utama penyembuhan adalah rasionalitas. Wirid difungsikan pada tahap tertentu, tanpa keluar dari koridor rasionalitas."
Menurut Emha, banyak kelompok wirid yang berwirid tanpa menyiapkan kemampuan identifikasi, deskripsi dan konklusi-konklusi objektif terhadap sebab akibatnya wirid.
Yang dikhawatirkan Cak Nun, wirid akhirnya hanya menjadi mitos, menjadi semacam keris pusaka yang dipakai untuk kamuflase, menakut-nakuti orang, atau pada kasus lain justru orang bergantung total pada perilaku wirid yang difungsikannya diam-diam sebagai semacam mode atau aksesori sosial budaya.
Itulah sebabnya, Emha lebih memilih mengatasi penyakit modern dengan rasionalitas. Seperti yang kini dilakukannya lewat "Padhang Mbulan" dan sarana-sarana lainnya. Rasionalitas khas sang Kiai Mbeling.
Baca Juga : Ingin Mencegah Penyakit Jantung, Yuk Coba 8 Tips Berikut Ini!
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR