Lalu sambil tergelak, ia menambahkan, "Kalau dalangnya tuek (tua, red), mainnya jelek, niyogonya tuek, begitu juga pesindennya, penonton ya ngantuk. He… he... he...".
Bahkan, tambah Suharni, seorang pesinden tidak saja harus ayu, ia juga harus ramah dan kenes.
"Biar penonton suka," jelasnya lagi.
Ditambahkannya, sikap seperti ini baru bisa diperlihatkan pesinden kalau ia sudah benar-benar tenar, sudah sering diundang ke sana-sini. "Kayak Bu Condrolukito itu, lho."
Tapi, lanjutnya, "Bu Condro kan tinggalnya di kota. Kalau di Sragen sini, sinden seperti itu, apalagi yang belum terkenal, kurang disukai," katanya serius.
Selain penampilan, nama pesinden juga penting.
Konon nama pesinden mesti enak didengar. Kalau kebetulan yang bersangkutan memiliki nama dengan akhiran "nem" atau "yem", mau tak mau harus diganti.
Sebabnya?
"Soalnya kedengarannya kampungan," jawab Didiek Teha, Penilik Kebudayaan Kecamatan Gondang.
Maka tak heran, jika setelah menekuni profesi sinden dan ledhek, banyak yang namanya berubah.
Suminem, misalnya. Pesinden dari desa Tunggul ini berubah namanya menjadi Purwanti. Demikian juga Sunyahni, juga dari desa Tunggul, di depan namanya ditambahkan kata Menik.
Alasannya? Ya itu tadi, supaya lebih keren.
Soal ganti nama juga berlaku di kalangan ledhek. Seorang ledhek di desa Dawung, kebetulan namanya juga Suminem. Kini dikenal dengan nama Sumiati.
"Banyak sinden yang namanya diganti oleh dalang yang mengorbitkannya.”
“Soalnya dalang, apalagi yang top, malu kalau membawa sinden yang namanya kampungan," ujar Sugiarti, pesinden dari Desa Tunggul.
Baca Juga : Dulu Jadi Pakan Ayam dan Babi, Kini Makanan Berlendir ini Harganya Rp17 Juta per Kilo
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR