Bukan hanya gempa yang bisa diteliti sejarahnya, tetapi juga tsunami. Ahli geologi LIPI lainnya, Eko Yulianto, melakukan penelitian paleo-tsunami di selatan Jawa.
Dia menemukan, ada tsunami yang terjadi di selatan Jawa antara 1685 hingga 1723. Dengan toleransi 24 tahun, dia membuat asumsi tsunami terjadi pada 5 Januari 1699.
Pada tanggal tersebut, memang ada gempa besar seperti dicatat dalam Katalog Wichman. Pada tahun itu juga, Jakarta porak poranda karena gempa.
"Selama ini banyak yang menduga gempa pada 1699 terjadi di darat karena dampak kerusakannya di daratan. Namun, dari temuan deposit tsunami ini, sekarang ada hipotesis baru, gempa ini terjadi di zona subduksi," terangnya dalam pemberitaan sebelumnya.
Kajian sejarah gempa dan tsunami bukan bertujuan membuat ramalan tetapi mendasari mitigasi bencana. Dengan tahu potensi gempa, Indonesia bisa mempersiapkan cara mitigasinya agar tidak timbul banyak korban.
Sementara sesar dan potensi gempa masih belum sepenuhnya terpetakan, ada yang bisa dilakukan: mitigasi.
Salah satu langkah mitigasi penting adalah membangun umah tahan gempa. Kementerian Pekerjaan Umum telah mengembangkan Ruman Instan Sederhana Sehat.
Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Japan International Cooperation Agency (JICA) telah mengembangkan panduan membangun rumah tahan gempa.
Iman Satyarno, dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, salah satu kunci rumah tahan gempa adalah campuran semen dan pasirnya.
“Jadi ketika ada masyarakat yang ingin membangun tipe rumah tembok ada guide, mencampur semen satu ember pasirnya harus empat ember. Biasanya masyarakat berlebih mencampur pasir,” tuturnya.
Simak selengkapnya dalam artikel Panduan Membangun Rumah Tahan Gempa
Infrastruktur peringatan dini sangat perlu, tetapi kita juga perlu mengembangkan pengetahuan dan sensitifitas soal gempa.
Eko menuturkan, itu penting untuk mencegah korban tsunami. Di Indonesia, tsunami bisa datang dalam waktu kurang dari 10 menit sehingga kesempatan menyelamatkan diri kecil jika hanya mengandalkan peringatan dini.
“Kasus seperti 25 Oktober 2010 di Mentawai, orang yang selamat yang kita interview saat itu melihat tulisan ‘berpotensi tsunami’ di televisi. Dia keluar, lari sedikit, air sudah menggulung,” jelas Eko.
Tsunami palu misalnya, menghantam pantai hanya 8 menit setelah gempa.
Daryono mengungkapkan, alih-alih riset prediksi gempa, Jepang dan USA kini lebih tertarik mengalokasikan anggaran dana untuk mitigasi gempa, seperti penguatan struktur bangunan dan masyarakat di kawasan berisiko.
Jadi agar kita selamat dari gempa dan tsunami, lebih baik mencari informasi dengan kata atau frase kunci: mitigasi gempa, mitigasi tsunami, dan lainnya yang berbasis mitigasi dan riset.
Baca Juga : Masih Banyak Korban Belum Ditemukan, Mengapa Pemerintah Hentikan Pencarian Korban Gempa dan Tsunami Palu?
(Yunanto Wiji Utomo)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jangan Ditanya Lagi, BMKG Tidak Bisa Prediksi Gempa".
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR