Saat itu posisi lahan memang sedang sangat kering karena kemarau.
Berdasar data yang dihimpun Puguh, lahan Perhutani tersebut dulu merupakan rawa-rawa.
Ketua Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Siswandi Kastari menduga, fenomena tersebut merupakan bentuk kemunculan gas rawa.
“Secara posisi, dulunya kawasan itu merupakan bekas dari sistem Segara Anakan. Jadi sangat wajar jika di bawah tanah terdapat endapan sedimen yang kaya material organik,” katanya seperti dilansir dari Kompas.
Baca Juga : Menyusuri Gua-gua Valkenburg yang Penuh dengan Lukisan Menakjubkan!
Material organik tersebut, kata Siswandi, dalam kurun waktu lama mengalami proses pembusukan dan diagenesa.
Proses inilah yang akhirnya menghasilkan gas rawa yang terdiri dari unsur gas metan (CH4), carbon monoksida (CO), carbon dioksida (CO2), Hidrogen Sulfida (HS) dan Sulfur (S).
“Gas ini dapat keluar ke permukaan setiap saat, hanya saja intensitasnya lebih tinggi ketika kemarau karena ada retakan di lapisan tanah permukaan. Kebetulan di permukaan kondisinya kering sehingga terlihat meletup-letup seperti mud volcano,” jelasnya.
Siswandi menyebut bahwa gas rawa di Cilacap ini tidak terlalu berbahaya karena muncul di lahan terbuka.
Source | : | kompas |
Penulis | : | Aulia Dian Permata |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR