Akan tetapi berkebalikan dengan cerita sebelumnya, kali ini Lincoln sukses mengalahkan Douglas. Tanggal 6 Desember 1860, Lincoln diumumkan sebagai pemenang pemilihan presiden. la sekaligus menjadi orang pertama dari Partai Republik yang memimpin negeri Paman Sam.
Menjadi negarawan
Baca Juga : Fakta Di Balik Lincoln dan Kennedy
Secara resmi, Lincoln duduk di kursi kepresidenan tanggal 4 Maret 1861, saat umurnya mencapai 52 tahun. Meski sudah menduduki posisi puncak, jerih payahnya sebagai politisi tentu saja tak berakhir di situ.
Pemikirannya makin bijak, terutama menyangkut persatuan dan keutuhan Amerika yang sangat dicintainya. Di saat usia melampaui setengah abad itulah, Abraham Lincoln yang amat kenyang mengenyam asam garam dunia politik (baik yang manis maupun pahit), mulai bermetamorfosa dari seorang politisi menjadi negarawan yang dihormati kawan maupun lawan.
Karakter itu mencuat lantaran semasa menjadi presiden, ia selalu berusaha melakukan yang terbaik. Lincoln menjadikan jabatan presiden hanya sebagai modal untuk menyelesaikan satu per satu persoalan yang tengah dihadapi negeri dan bangsanya.
Masalah pertama yang harus dihadapinya adalah ancaman perpecahan dan perang saudara. Persoalan ini bahkan sudah harus dipikirkan pemecahannya oleh Lincoln sebelum pelantikan. Tanggal 1 Februari 1861 tujuh negara bagian memproklamirkan diri menjadi negara Konfederasi Amerika.
Baca Juga : Praktik Perbudakan Keji Bangsa Romawi di Inggris Terungkap, Tengkorak Hancur dan Kaki Dipotong
Lincoln tidak mengakui proklamasi itu. Tak ayal, ia harus menghadapi ancaman pembunuhan di Baltimore menjelang akhir Februari 1861.
Akan tetapi, dengan kematangan pengalamannya, secara bertahap Lincoln mampu mengatasi ancaman perpecahan dan menjaga keutuhan AS. Selain itu, sesuai dengan prinsip antiperbudakan yang dipegangnya teguh, Presiden Lincoln mengeluarkan dua dekrit eksekutif yang disebut sebagai dekrit Emancipation Proclamation.
Dekrit yang pertama diterbitkan pada 22 September 1862, sedangkan yang kedua pada 1 Januari 1863. Dekrit itu dikeluarkan dalam dua tahap karena konteks dan situasi Perang Saudara yang sedang dihadapi negara AS pada saat itu.
Pada 1864, di usia 55 tahun, Lincoln terpilih kembali sebagai presiden Amerika Serikat. Ketika mendekati akhir peperangan, Lincoln bersikap moderat terhadap gagasan rekonstruksi, yaitu mendambakan persatuan kembali bangsa melalui kebijakan rekonsiliasi yang lunak.
Baca Juga : Dianggap Picu Konflik Rasial, Patung-patung Simbol Perbudakan di AS Ini Dibongkar
Sayangnya, "musuh-musuh" Lincoln di luar sana rupanya tak punya cukup kesabaran untuk melihat Amerika betul-betul bersatu dan menikmati hidup dalam kesetaraan di bawah pimpinan Lincoln.
Pada 14 April 1865, Abraham Lincoln tertembak di Ford Theatre, Washington, dan meninggal keesokan harinya. Sang pembunuh, John Wilkes Booth adalah salah seorang pendukung Konfederasi yang menentang diserahkannya tentara Konfederasi kepada pemerintah setelah berakhirnya Perang Saudara.
Tragis, setelah memimpin bangsanya keluar dari kemelut, Lincoln justru menjadi presiden pertama AS yang tewas dibunuh. Sebagai politisi maupun negarawan, bapak dari empat anak (Robert Todd Lincoln, Edward Lincoln, Willie Lincoln, dan Tad Lincoln) ini memang tak pernah jeri dan selalu optimistis.
Baca Juga : Kisah Kelam Perbudakan Manusia di Balik Industri Udang Thailand (4): Berhasil Kabur
Seperti penggalan ucapannya, "Let us have faith that right makes might ..., let us to the dare to do our duty as we understand it." Tak ada yang bisa mengalangi Lincoln saat menjalankan tugas, tak juga ancaman senjata, yang akhirnya merenggut nyawa sang presiden berjenggot.
Kisah Lincoln akan dikenang banyak orang dengan banyak alasan. Salah satunya, Lincoln telah menunjukkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin adalah berjuang mempertahankan prinsip dan tak lelah mewujudkannya.
Pemimpin bukan pemimpi yang terbangun dari tidur.
Baca Juga : Inilah Deretan Gaji para Pemimpin di Berbagai Negara, Ada yang Sampai 30 Miliar! Bagaimana dengan Jokowi?
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR