Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.
Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto. Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan.
Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo. Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.
Sekitar pukul 06.00 pagi Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto. Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.
Kepada Soeharto, Soedjiman memberitahukan bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.
Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.
Sebelum berangkat ke markasnya Soeharto berpesan kepada Soedjiman, "Segera kembali sajalah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat."
Tak lama kemudian Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya. Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur. Ketika itu Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa.
Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu. Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya. Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung. Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.
Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 pagi. Herannya, hingga pukul 07.00 pagi RRI tak juga bercuap-cuap. Aneh...!
Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji.
Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim. Di Istana Presiden juga terlihat melompong.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR