"Bantingan" turbulensi di 500 kaki tidak sehebat di 4.000 kaki. Kalau turun lebih rendah lagi, kami khawatir menabrak tiang kapal yang berlayar di bawah kami, karena kami mengikuti jalur kapal yang sangat sibuk di Laut Cina Selatan.
Kapten Eko lebih memusatkan perhatiannya pada instrumen terbang. Di luar temperatur 20°C. Suara hujan menimpa kaca membuat perasaan kecut. Saya berkeringat.
Baca Juga : Resmi, TNI AD Miliki 8 Helikopter Apache Buatan AS Senilai Rp4,6 Triliun
"Mas, terus ya," tiba-tiba Kapten Eko berbicara.
"Ya, tak ada pilihan!" saya meyakinkannya.
Kami harus sangat berhati-hati. Kami tahu, terbang serendah ini, di malam hari, kalau vertigo bisa fatal.
Vertigo adalah semacam sensansi yang salah dari alat keseimbangan di kepala kita (vestibular apparatus) sewaktu kita berputar atau berbelok.
Keadaan ini mengakibatkan kita kehilangan keseimbangan terhadap garis vertikal. Penerbang yang kehilangan keseimbangan itu tidak mampu mengendalikan pesawat dengan benar.
Baca Juga : Helikopter Pembawa Pengantin Jatuh dan Meledak, Tapi Pesta Pernikahan Tetap Berjalan
Pesawat miring atau mau terbalik tidak disadarinya. Akibatnya bisa fatal. Pilot yang tidak terlatih atau menerbangkan pesawat biasa yang tidak mempunyai instrumen terbang buta lengkap di siang hari pun, dan masuk awan yang tebal, bisa mengalami vertigo.
Apalagi di malam hari. Beberapa rekan sudah jadi korban. Vertigo ditakuti semua pilot. Karenanya lebih baik terbang berdua, teristimewa misi seperti malam itu. Non flying pilot yang berpengalaman akan mudah mendeteksi flying pilot yang vertigo.
Kira-kira pukul 02.20 kami sudah keluar dari hujan. Lama sekali rasanya. Tidak ada hubungan komunikasi. Alat-alat navigasi tak berfungsi.
Kami naik lagi ke ketinggian 4.000 kaki. Jarak ke Singapura kira-kira 200 km lebih. Terbaca di radar, cuaca membaik di daratan Malaysia.
Baca Juga : Mujurnya Nasib Helikopter TNI AU Meski Sudah Dilubangi 23 Peluru Musuh
Dengan ketinggian 4.000 kaki dan jarak yang dekat dengan alat-alat navigasi Singapura, membuat.VOR dan DME mulai berfungsi. Kami sekarang tahu persis di mana kami berada dan berapa jauh lagi ke tujuan.
"Helicopter Papa Kilo Papa Uniform Alpha, this is Singapore Radar, good morning!" tiba-tiba suara seorang wanita menjawab panggilan saya.
"You are clear to Seletar, maintain 4.000 feet, transponder code 4615," katanya. Lalu, "Papa Uniform Alpha, you are identified, under radar control".
Baca Juga : Dengan Sangat Cepat, UFO ‘Kembar’ Melintas Sangat Dekat dengan Helikopter Penyelamat di Prancis
Layang-layang tidak jadi putus. Sekarang kami sudah berada dalam pengamatan radar mereka. Apa pun yang akan terjadi, kami dengan mudah akan diketemukannya.
Saya sampaikan data-data penerbangan kami lebih detil. Juga kami minta untuk menyiapkan ambulans di Bandara Seletar.
Dengan bantuan radar, mudah sekali kami dibimbingnya sampai hanya ± 7 km di depan landasan Seletar.
Keluar dari awan, sulit juga menentukan mana yang landasan di pagi buta itu. Terlalu banyak lampu kota.
Kami tak biasa ke landasan ini. Beberapa menit kemudian, pukul 03.11 dengan mudah Kapten Eko mendarat di Seletar.
Ambulans dengan peralatan yang lengkap segera melarikan insinyur itu ke rumah sakit. Kami berkemas dan segera mencari tempat tidur di kota.
Beberapa jam kemudian kami diberi tahu bahwa ia selamat, tapi lengannya diamputasi. Matanya? Entahlah. Mudah-mudahan kami bisa bertemu.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR