Advertorial
Intisari-Online.com – Banyak tulisan, film, dan kisah dokumenter seputar operasi militer perburuan Osama bin Laden telah dibuat. Tapi buku ini ditulis oleh salah satu pelaku tim khusus yang menyerbu tempat persembunyian pemimpin Al Qaeda itu di Abbottabad, Pakistan, pada dini hari 2 Mei 2011.
Demi kerahasiaan, nama-nama dan sejumlah detail peristiwa disamarkan, termasuk nama asli penulis.
Dicukil dari buku No Easy Day: The Autobiography of a Navy SEAL, tulisan Mark Owen & Kevin Maurer, oleh Mayong S. Laksono, yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi Juni 2013 dengan judul Operasi Senyap Memburu Osama Bin Laden
--
Sementara itu, di Gedung Putih, Presiden Obama dan para penasihatnya masih membahas pelbagai cara. Belum ada persetujuan serangan darat. Kami baru diizinkan memulai persiapan dan melakukan latihan.
Baca Juga : Osama bin Laden, Dalang Serangan 9/11 yang Berhasil Ditemukan dan Dibunuh CIA Berkat Teknologi Canggih Ini
Salah satu opsi adalah serangan udara dengan pesawat pengebom B-2 Spirit. Menteri Pertahanan Robert Gates setuju karena cara itu akan melepaskan Amerika dari tuduhan invasi dan melanggar kedaulatan Pakistan.
Lagi pula Amerika memiliki reputasi buruk dalam serangan darat. Contoh paling nyata adalah kegagalan Operation Eagle Claw di Teheran tahun 1980, menyebabkan Presiden Carter gagal menuju masa jabatan kedua.
Tapi serangan udara memerlukan 16 ton bom pintar karena harus menjangkau kedalaman 10 m agar efektif jika rumah itu memiliki bunker. Jumlah korban pasti besar dan sulit diidentifikasi. Sebelum keputusan diambil, kepastian harus final, bahwa Bin Laden ada di sana.
Sebetulnya dari citra hasil pengintaian pesawat tanpa awak kami bisa melihat Osama berjalan di halaman kompleks itu. Kami menjulukinya The Pacer. Tapi kelak, dalam operasi, kami menggunakan idiom khas Amerika: Geronimo.
Baca Juga : Mengenang 11 September yang Mengerikan, Runtuhnya Menara Kembar, dan Keterkaitan Osama bin Laden
Tapi sekarang, ketika belum ada perintah dari presiden, kami hanya berlatih dengan mock-up seukuran aslinya, juga senjata, peledak, pendobrak, dan Black Hawk betulan.
Kami sempat didatangi para petinggi AL seperti Kepala Staf Gabungan Laksamana Mike Mullen, Komandan Operasi Khusus berkedudukan di Tampa dan pernah menjadi komandan DEVGRU Laksamana Eric Olson, serta Komandan Operasi Khusus Gabungan Laksamana Madya Bill McRaven.
Mereka sangat bangga, tapi belum bisa bertindak karena Presiden Obama belum menandatangani surat perintah. Jadi aksi kami sekadar jadi alat promosi untuk meyakinkan sang pembuat keputusan.
Kami berlibur sambil menunggu. Ketika orang lain menghias telur Paskah, kami harus rapat-rapat menjaga rahasia. Tak sampai seminggu kemudian, panggilan datang lagi. Kali ini kepastian kami untuk berangkat – ke pangkalan militer di Bagram, pangkalan NATO di utara Kabul, Afghanistan, bukan untuk menyerbu ke Abbottabad.
Baca Juga : Putra Osama bin Laden Dilaporkan Nikahi Putri Pelaku Serangan 11 September
Dari Bagram kami pindah ke Jalalabad. Barangkali itu bagian dari upaya menjaga kerahasiaan, sebab membiarkan kami berlama-lama libur akan membuka peluang kebocoran informasi.
Kami menduga, kami akan tinggal di sana selama dua malam untuk persiapan, dan malam ketiga action. Saya makin yakin, ini akan menjadi operasi terbesar sepanjang saya menjadi anggota SEAL.
Dua malam berlalu dengan aneka diskusi dan gurauan getir. Masing-masing harus ingat di luar kepala tugasnya.
Akhirn ya komandan DEVGRU memanggil. “OK, guys, saya baru dapat telepon dari McRaven. Dia baru bicara dengan presiden, izin sudah keluar. Operasi akan dilakukan besok malam.”
Baca Juga : CIA Rilis Daftar Dokumen dari Komputer Osama bin Laden, Isinya Mengejutkan!
Persetujuan termasuk argumen yang harus disiapkan bila tertangkap militer Pakistan. Mereka tidak akan menyerang, tetapi pasti akan curiga. Kami akan pura-pura mencari pesawat tanpa awak yang hilang. Semua tertawa.
Geronimo E.K.I.A!
Malam kedua saya tidak bisa tidur. Ternyata beberapa teman juga mengalaminya. Pagi-pagi kami membuang botol minum yang penuh oleh air kencing. Di barak, jarak toilet sekitar 160 m, sehingga di malam hari kami malas ke sana.
Saya sarapan, mandi, dan tidak ada aktivitas penting di hari itu. Dengan Will, Walt, dan Charlie saya mencoba mengurangi ketegangan, berandai-andai kalau kelak misi dibuat film oleh Hollywood, siapa yang akan memerankan kami ya?
Baca Juga : Sempat Ditanya Rencana Terorisme di Masa Depan, Ini Jawaban Osama bin Laden Saat Masih Hidup
Selebihnya tidak ada pembicaraan tentang keadaan di rumah, tidak juga menyinggung acara nanti malam. Rahasia terjaga rapat.
Penerbangan ke Abbottabad akan berlangsung 90 menit alias tiga jam bolak-balik, dan operasi dijadwalkan 30 menit. Kami akan tiba di titik penyerangan beberapa menit setelah tangah malam.
Perhitungan dilakukan atas dasar pertimbangan bahan bakar, juga cadangan seandainya kami harus terlibat dalam pertempuran atau melarikan diri sebelum kembali ke pangkalan.
Saya sempat terlelap ketika tiba-tiba mendengar teriakan, “Sepuluh menit!”
Di titik peluncuran, ternyata helikopter oleng. Pilot menerbangkan heli untuk berputar. Ketika kembali, kejadian berulang. Bahkan lebih parah. Rotor menghantam atap bangunan sehingga heli jatuh ketika pasukan seharusnya meluncur dengan tali.
Akhirnya helikopter benar-benar jatuh meski tidak keras dan tersangkut di dinding sisi selatan. Kami tetap meluncur dengan tali karena terlalu riskan untuk melompat tanpa peralatan. Sementara pilot Chalk Two mendaratkan heli di luar tembok, barangkali khawatir akan mengalami kejadian yang sama dengan kami.
Informasi terakhir menyebutkan C1 ditinggali Ahmed al-Kuwaiti dengan istri dan anak-anaknya, serta kemungkinan juga Abrar al-Kuwaiti, adiknya. Kami mendaki tangga dan dengan palu mendobrak pintu besi untuk memanggil-manggil nama Ahmed.
Ternyata jawabannya adalah tembakan AK-47. Lewat kacamata malam kami bisa melacak keberadaan si penembak dan melumpuhkannya. Mariam, istri Ahmed, keluar dari kamar sambil menggendong bayi. Di belakangnya, tiga anak mengikuti.
Baca Juga : Sempat Ditanya Rencana Terorisme di Masa Depan, Ini Jawaban Osama bin Laden Saat Masih Hidup
“Ke sini,” kata Will dalam bahasa Arab.
“Dia sudah mati … dia sudah mati. Kamu membunuhnya,” kata Mariam terisak.
Kami mengamankan sebuah AK-47 dan sebuah pistol, lalu menuju ke bangunan utama untuk membantu tim yang telah lebih dahulu menyerbu. Rupanya pintu-pintu terbuat dari besi yang amat kuat sehingga perlu peledak untuk membukanya.
Suara gaduh terdengar sesaat, kemudian hanya terdengar suara mesin heli, disusul gaduh lagi, dan seterusnya. Data intelijen benar, keluarga Osama tinggal di lantai dua dan memiliki pintu masuk tersendiri. Osama selalu lewat pintu sebelah utara, sedangkan Kuwaiti bersaudara lewat pintu selatan.
Baca Juga : Pengakuan Rob O'Neill, Anggota Navy SEAL yang Menembak Mati Osama bin Laden
Tapi di lantai satu Abrar melakukan perlawanan. Ketika ia terlihat, kami membidiknya. Tapi tiba-tiba Bushra, istrinya, muncul melindungi. Tak terhindarkan, keduanya jadi sasaran tembak.
Dari luar anggota Chalk Two mulai bergabung. Jay memperkuat penyerbuan bersama Tom dan Will. Seluruh ruangan disisir. Suasana tegang.
Dalam perhitungan kami, di lantai dua, yang sebagian dipakai sebagai pusat media, masih ada Khalid, putra Osama. Ada kekhawatiran dia – atau siapa pun penghuni rumah itu – bersiap dengan rompi bom bunuh diri di saat terdesak.
Kami tak mau mengambil risiko. Tubuh Khalid terhuyung jatuh di sisi tangga menuju lantai tiga. Beberapa perempuan dan anak-anak menangis. Suasana berubah gaduh.
Tangga menuju lantai tiga sempit, kami harus berhati-hati menapakinya. Tiba-tiba terdengar tembakan dari atas. Kami pun menyerbu dengan kesiapan penuh. Dari pandangan lewat kacamata malam kami bisa melihat si penembak dan membalasnya.
Tiba-tiba tembakan berhenti, tapi kami menunggu sesaat sebelum mendekati pintu yang terbuka.
Dua orang perempuan menangis di samping seorang laki-laki yang tergeletak di kaki tempat tidur. Di sisi lain kamar ada tiga anak. Kami memerintahkan dua perempuan histeris itu ke sisi ruangan dan menyuruh anak-anak menjauh. Tetap ada kekhawatiran kalau-kalau mereka juga membawa senjata atau bom bunuh diri.
Pria yang tergeletak tak bergerak itu mengenakan kaos tanpa lengan dilapisi tunik berwarna cokelat dengan celana longgar berwarna sama. Luka tembak di kepala bagian samping mengeluarkan darah membasahi lantai.
Baca Juga : Sering Pura-pura Mati, Cucu Osama Bin Laden Berusia 12 Tahun Ini Tewas Akibat Serangan Udara
Badannya kurus tapi sangat tinggi, sekitar 190 cm, memiliki jenggot hitam legam. Ketika suasana aman, saya memeriksa seluruh ruangan. Ada pintu menuju ruangan kecil yang kotor dan penuh kertas.
Pintu satunya menuju kamar mandi kecil. Seorang anggota SEAL mengarahkan perempuan dan anak-anak keluar ruangan.
Kami memeriksa jenazah. “Saya rasa dia target kita,” kata Tom kepada saya.
Dia tidak menyebut nama Bin Laden karena semua pembicaraan kami didengarkan lewat radio, bahkan oleh Presiden Obama dan stafnya di Situation Room, Gedung Putih. Tom takut salah tebak.
Baca Juga : Masih 20-an Tahun, Putra Termuda Osama Bin Laden Sudah Jadi Buronan Amerika
Saya mencoba mencocokkan dengan check list dalam ingatan.
Badannya jangkung. Cek. Dia satu-satunya pria dewasa di lantai tiga. Cek. Dua kurir yang terbunuh tadi persis informasi dari CIA. Cek.
Saya membuka buklet dari jaket dan melihat foto-foto Osama, mencoba mencocokkan wajah. Tidak terlalu asing. Bentuk hidungnya, alisnya, hanya jenggot yang hitam tanpa selembar pun warna putih agak mengherankan.
Tom mengeluarkan botol minum dan menyiramkan air ke wajah pria itu, kemudian mengelapnya dengan selimut. Saya mengeluarkan kamera digital bekal pergi ke mana pun dan memotretnya.
Baca Juga : Tanah Bekas Rumah Osama bin Laden Jadi Rebutan Pemerintah dan Militer Pakistan
Dari jarak dekat, setengah badan, sampai seluruh badan. Walt mengambil sampel untuk tes DNA. Darah, air liur, juga menggunakan suntikan besar untuk menyedot sumsumnya.
Tapi kami tetap perlu konfirmasi. Kepada perempuan muda yang histeris, yang ternyata Amal al-Fatah, istri kelima Bin Laden, Will bertanya dalam bahasa Arab.
“Syekh,” jawab dia.
“Syekh siapa?”
Baca Juga : Isi Surat Wasiat Osama bin Laden Menyangkut Keluarga dan Harta Senilai Rp385,7 Miliar
Ia makin histeris, memegangi pergelangan kakinya yang luka. Tapi bukan luka tembak.
Will beralih ke beberapa gadis kecil yang berkumpul di balkon. Sambil berlutut ia bertanya, “Siapa laki-laki itu?”
“Osama bin Laden,” jawab si gadis.
“Kamu yakin itu Osama bin Laden?”
Baca Juga : Wikileaks Bocorkan Surat AS untuk Abdullah bin Laden, Putra Osama bin Laden
“Ya.”
“Terima kasih.”
Masih belum yakin, Will menghampiri perempuan tua di ujung lorong. “Jangan bohong. Siapa laki-laki di kamar itu?!” ia membentak.
Dia menangis keras. Tapi Will malah mencengkeram erat pundak perempuan itu. “Siapa?!”
Baca Juga : Terungkap, Bahan Bacaan Favorit Osama Bin Laden (2)
“Osama ….”
“Osama siapa?”
“Osama bin Laden.”
Will melihat ke arah kami. “Hey, konfirmasi ganda,” katanya sambil tersenyum.
Baca Juga : Kebohongan di Balik Tewasnya Osama Bin Laden: Drama yang Terbongkar
Saya kembali menjepretkan kamera. Dari segenap sisi, agar laporan dan dokumentasi kami makin lengkap. Gambar-gambar kemudian dicocokkan dengan keterangan dan tafsir gambar versi CIA. Jay mengangguk-angguk. Ia keluar ruangan sementara anggota lain meneruskan pekerjaan.
Dengan radio satelit Jay mengontak Laksamana McRaven di Jalalabad. Dari markas itu situasi dilaporkan secara real time ke Situation Room di Gedung Putih.
“Demi Tuhan dan negara, saya serahkan Geronimo,” kata Jay. “Geronimo E.K.I.A (Enemy Killed in Action, musuh terbunuh dalam penyerbuan).”
Tiga puluh menit hampir berlalu sejak jatuhnya heli pengangkut Chalk One. Kami mengambil pelbagai kertas, dokumen, komputer, dan beberapa alat bukti dari ruang-ruang media di lantai dua. Juga jenazah Osama bin Laden.
Kepada helikopter CH-47 yang menjemput saya memesan satu tempat tambahan. Black Hawk yang tersangkut di tembok kami ledakkan. Kami pun kembali ke Jalalabad.
Baca Juga : Terungkap, Bahan Bacaan Favorit Osama Bin Laden (1)