Advertorial
Intisari-Online.com – Selain Tan Malaka, satu lagi tokoh "kiri" yang berjasa di awal berdirinya negeri ini adalah Sutan (atau Soetan) Sjahrir.
Namanya harum sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Namun mirip Tan Malaka, kariernya pun tak bertahan lama.
Bak suratan takdir, nasib tokoh-tokoh "kiri" hampir seragam: cepat populer, cepat pula terpinggirkan.
Tulisan Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI, ini menjelaskan bagaimana karier politik Sjahrir. Simak tulisannya di Majalah Intisari edisi Juni 2009, dengan judul asli Meteor Sjahrir dan Tragedi Kiri.
--
Baca Juga : Mengenang Kembali Sutan Sjahrir yang Berjuang di Masa Kolonial Belanda dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia
Sjahrir adalah salah satu contoh tragedi tokoh dan ideologi kiri di Indonesia, la berjuang menentang penjajahan sedari muda dan menjadi Perdana Menteri di usia sangat muda.
Namun tahun 1962 ia dimasukkan ke dalam bui tanpa proses pengadilan, sementara partai yang didirikannya, Partai Sosialisme Indonesia (PSI) tidak dapat lagi berdiri untuk selamanya di tanah air.
Tahun 1965, pemerintah juga sempat melarang Partai Murba yang didirikan Tan Malaka. Walaupun sempat direhabilitasi setahun kemudian, partai itu tidak pernah bisa berkembang menjadi partai besar.
Sedangkan partai yang pernah berjaya pada masa Orde Lama, PKI (Partai Komunis Indonesia) dilarang sejak 12 Maret 1966.
Sejak itu ideologi kiri boleh dibilang "sudah dicampakkan" di Indonesia.
Tragedi yang tidak kalah ironisnya adalah pertentangan sesama organisasi kiri. Sjahrir pernah diculik kelompok Tan Malaka, sedangkan Tan Malaka pun sempat ditawan oleh pengikut Sjahrir seperti Abu Bakar Lubis. Meski sama-sama tokoh sosialis, Sjahrir juga berseberangan dengan Amir Sjarifuddin.
Baca Juga : Des Alwi: Jadi Anak Revolusi Berkat Hatta & Sjahrir
Padahal, sejak pergerakan kemerdekaan sampai masa revolusi (1945 - 1950), ideologi kiri yang secara umum disebut sosialisme (dengan berbagai variannya) ini sempat menjadi ideologi favorit para pendiri republik.
George McTurnan Kahin, salah seorang perintis studi Indonesia di Amerika Serikat (muridnya antara lain pakar terkemuka Ben Anderson, Ruth McVey, Takashi Siraishi, dan Taufik Abdullah) berada di wilayah Indonesia pada saat-saat genting pasca kemerdekaan.
Kahin mengamati, para perintis kemerdekaan kita memang cenderung tertarik kepada sosialisme.
"Sebagian besar pemimpin Republik mempunyai komitmen yang kuat untuk menciptakan keadilan sosial, dan kemerdekaan dianggap sebagai prasyarat yang tidak dapat ditawar," ungkap Kahin.
Kahin menambahkan, "Para pemimpin PNI dan PSI yang dipimpin Sjahrir menganggap diri mereka sebagai penganut sosialisme... Dalam berbagai tingkat, secara ideologis mereka itu memilah-milah dan meramu serta tidak bersifat doktriner dalam menganut sosialisme.
Soekarno .... menganggap dirinya sebagai seorang sosialis, demikian pula Hatta, yang menekankan pentingnya ditegakkan ekonomi campuran … mencakup komponen koperasi yang besar, dengan memberikan tempat bagi campuran kapitalisme berskala kecil.
Kedua pemimpin itu menekankan kepada gaya kesesuaian Islam dan sosialisme. Hal itu juga merupakan pandangan Natsir, Roem, dan Sjafruddin Prawiranegara yang menganggap diri mereka sebagai kaum sosialis religius."
Yang menjadi pertanyaan, mengapa ketika revolusi dan tahun-tahun setelah itu, sangat sedikit kemajuan yang diperoleh oleh jalan sosialisme itu? Kahin mencoba memberi jawaban. Pertama, karena Rl sedang berperang menghadapi Belanda.
Kedua, sebab terjadi kehancuran berbagai prasarana seperti perhubungan dan komunikasi pada masa PD II dan revolusi, sehingga diperlukan sejumlah besar modal asing untuk memulihkan prasarana fisik tersebut dan membangun kembali ekonomi negara.
Baca Juga : Tan Malaka yang Berjuang dengan Berganti-ganti Nama Akhirnya Meninggal di Tangan Kawan Seperjuangannya
Jika terus menjadi sosialis, berarti meniadakan kemungkinan bantuan ekonomi dari Amerika Serikat, satu-satunya negara yang bersedia memberikan bantuan dalam jumlah besar. Itu sebabnya, sejak 1966 semua ideologi kiri menjadi tabu.
Modal asing dan utang menjadi prioritas rezim yang berkuasa. Tidak ada lagi ideologi yang mempertanyakan dan menolak keserakahan kapitalisme.
Setelah era reformasi, barulah peta politik nasional berubah. Sedari dulu disadari bahwa partai nasionalis dan partai berbasis agama tidak akan bisa menang mutlak. Itu sudah terlihat pada Konstituante setelah Pemilu 1955 dan terulang lagi dalam pemilu zaman Orde Baru.
Setelah berkecamuk krisis finansial dunia maka sistem kapitalisme global itu dipertanyakan. Ideologi apa yang diperlukan masyarakat kita dewasa ini? Nasionalisme diperlukan untuk menghadapi globalisasi.
Baca Juga : Tan Malaka, Pendiri Sekaligus ‘Korban’ PKI yang Pernah Memimpikan Bersatunya Kekuatan Islam
Agama dibutuhkan agar ada keseimbangan material-spiritual. Sementara sosialisme adalah ideologi yang membendung keserakahan kapitalisme. Tidakkah sebenarnya, kita memerlukan ketiganya kini?
Kemanusiaan ala Sjahrir
Syahrir punya pemikiran sendiri tentang tujuan bangsa ini. Gagasan yang "kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, tekanan, dan penghisapan keadilan, pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme, pendewasaan bangsa."
Pemikiran ini rasanya masih relevan sampai sekarang, seperti disampaikannya dalam pidato radio pada peringatan satu tahun kemerdekaan Rl.
Baca Juga : Membunuh Tanpa Suara, Salah Satu Materi Sekolah Anti Terorisme dan Komunisme di Amerika Serikat
"Perjuangan kita sekarang ini, bagamanapun juga aneh rupanya, kadang-kadang tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.
Oleh karena itu kita sebagai bangsa yang percaya kepada kehidupan, percaya kepada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan.
Kita percaya pada yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menyempitkan kehidupan manusia, tiada lagi perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh- musuhan antara sesama manusia, sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni."
Menikah pakai surat kuasa
Baca Juga : Dalam Dolar Amerika Serikat Ada Senjata Kata-kata Melawan Komunisme
Sepanjang hidupnya, Sjahrir menikah dua kali. Pada 1939 dia menikahi Maria Duchateau. Pernikahan ini unik karena dilaksanakan secara serentak di Belanda (tempat tinggal Duchateau) dan Banda Neira (tempat Syahrir diasingkan).
Di Belanda, ketidakhadiran Sjahrir digantikan oleh surat kuasa, sehingga pernikahan tetap sah. Sayangnya, setelah itu pecah PD II, Duchatau pun tidak dapat menyusul Sjahrir ke Indonesia. Pada 1948, mereka bercerai.
Semenjak 1951 hingga saat menghembuskan napas terakhir, Sjahrir menikah lagi dengan Siti Wahyunah S.H., putri Prof. Dr. dr. Mori. Saleh Mangundiningrat, asal Solo.
Pernikahan yang dilangsungkan di Kairo, Mesir, itu melahirkan Ir. Kriya Arsjah dan Siti Rabyah Parvati, S.S. Sjahrir juga punya beberapa anak angkat yang berasal dari Banda Neira, tempat pembuangannya di Maluku.