Dewan itu berbentuk presidium yang diketuai oleh Letkol Untung, dengan empat anggota: Brigjen Soepardjo, Letkol Udara Heroe, Kolonel Laut Sunardi, Adjun Komisaris Besar Polisi Anwar.
Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu terpukul. la menganggap peristiwa itu riak kecil dari luasnya samudera revolusi. Ditambahkannya, peristiwa itu hanya buah dari konflik internal Angkatan Darat.
Kesimpulan ini sama dengan yang disampaikan oleh Heroe Atmodjo, dan kemudian dijadikan dasar pertimbangan perintah harian Menteri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani menanggapi peristiwa itu - sehingga membawa konsekuensi hukum berat bagi dirinya.
Logika Abdul Latief
Baca Juga : Kisah Pemain Timnas yang Dijadikan 'Boneka' oleh PKI demi Menangkan Pemilu
Satu sosok penting dalam Gerakan adalah Kolonel (Inf.) Abdul Latief, yang saat itu menjabat Komandan Batalyon Infantri I/Djaya Sakti pada Kodam V Djaja.
la ditahan sejak tahun 1965, divonis mati pada 1982, namun mendapat amnesti dari Presiden BJ Habibie pada Maret 1999, dan meninggal dunia pada 6 Maret 2005.
Mengaku kenal dekat dengan Jenderal Soeharto karena di tahun-tahun awal kemerdekaan dulu menjadi anak buahnya langsung.
"NRP saya 10685, NRP Pak harto 10684, maka saya menempel persis di belakangnya. Silaturahmi antarkeluarga juga sangat dekat. Ketika anak saya Agung Prabowo disunat, Pak Harto dan Ibu rawuh, malahan Agung dipangku Ibu Tien. Begitu juga saat Sigit disunat, saya dan istri sowan ke sana."
Baca Juga : Buku Ini Pernah Jadi ‘Medan Pertempuran’ Antara ‘PKI’ dan Pancasila
Maka mendengar Tommy masuk rumah sakit karena tersiram kuah sop panas, Latief menjenguk memberitahu Mayjen Soeharto yang waktu itu menjabat Panglima Kostrad, soal rencana penculikan para jenderal AD.
Mendengar hal itu, kata Latief, Pak Harto tidak bersikap apa-apa. Lagi pula, karena kondisi Tommy yang parah dan kerepotan Bu Harto menyusui bayi si bungsu Mamiek, perhatian Pak Harto terpecah.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR