“Coba kita setel stasiun radio Jakarta kembali,” demikian ujar Subadio, setelah habis sembahyang magrib. “Biasanya jam 7 ada siaran warta berita.”
Mulai dari jam 7 itu sampai setengah jam kemudian, radio Jakarta ternyata tidak ada di udara. Kami saling bertanya-tanya apa sebabnya? Mungkin keadaan di Jakarta semakin gawat.
Tetapi yagn sudah jelas dan pasti tidak adanya radio Jakarta di udara merupakan indikasi bahwa stasiun radio tersebut tidak dikuasai oleh kaum pemberontak lagi.
Sebab kalau masih berada di tangan mereka, tentulah akan mereka pergunakan untuk kepentingan siaran-siaran mereka sendiri.
Baca Juga : 300 Koin Emas Ditemukan di Italia, Inikah Bukti Runtuhnya Kekaisaran Romawi?
Kami masih terus berkumpul mengikuti berita-berita. Akhirnya kira-kira jam 9 malam, terdengarlah pidato Pak Harto dari corong radio Jakarta, yang mengungkapkan dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi itu.
Dijelaskan, bahwa keadaan telah dapat dikuasai oleh alat-alat negara yang sah. Gambaran situasi sudah semakin jelas, situasi yang memberikan pengharapan.
Pada malam itu juga, Komandan RTP, Kapten Sumarjo, sudah sampai di Madiun dari Jakarta. Menurut dugaan kami, tentulah beliau membawa berita-berita yang lebih jelas, sebab beliau meninggalkan Jakarta pada tanggal 1 Oktober pagi-pagi dengan menumpang kereta api.
Tetapi, ternyata beliaupun tidak banyak mengetahui keadaan yang sebenarnya.
“Memang, saya melhat kesibukan-kesibukan pada pagi-pagi itu,” demikian ceritera Kapten Sumarjo. “Tentara-tentara ada yang dipusatkan di sekitar istana, dan ada pula yang ditempatkan di sekitar kantor RRI. Desas-desus yang terdengar ialah bahwa ada sesuatu gerakan yang sedang berlaku. Tetapi, tidak jelas siapa yang melakukannya dan terhadap siapa ditujukan.”
Setelah komandan RTP kembali di Madiun, dan walaupun keadaan baik di Jakarta maupun di tempat-tempat lain sudah mulai sepenuhnya dikuasai oleh ABRI, kami berpendapat sebaiknyalah kalau kami dipindahkan ke tempat lain.
Dengan persetujuan Komandan RTP kami memajukan permohonan kepada Kejaksaan Agung untuk dipindahkan dari Madiun.
Permohonan itu dibawa oleh seorang kurir yang ditugaskan oleh Komandan RTP. Permohonan tersebut kemudian diperkenankan oleh Kejaksaan Agung.
Baca Juga : Diberi Label ‘Komunis’, Tahanan Politik G30S Justru Diperlakukan Layaknya Tahanan di Negeri Komunis
Pada tanggal 25 Oktober 1965, kami meninggalkan penjara Madiun, dipindahkan ke RTP Jakarta, setelah lebih kurang 3 tahun lamanya meringkuk di tempat yang bersejarah itu.
Tatkala kami meninggalkan rumah penjara yang terletak di tepi bengawan Madiun itu, beberapa orang tahanan-tahanan G-30-S sudah mulai masuk menggantikan tempat kami itu, untuk menunjukkan kebenaran ucapan seorang pahlawan, “Kemarin dia; hari ini saya; besok engkau.”
Satu kenang-kenangan yang tak mudah kami lupakan…. (M. Yunan Nasution)
M. Yunan Nasution, anggota DPR RI masa jabatan 1956–1960. Ia masuk penjara para masa pemerintahan Orde Lama, persisnya 16 Januari 1962 dan dibebaskan 17 Mei 1966. Ia ditangkap tanpa alasan yang jelas dan dimasukkan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR