Lalu si anak boleh bangkit. Ibunya menyeka air matanya dan mendekapnya. Si anak pun digoyang-goyang sampai tertidur.
Ayam aduan harus dipijat
Sesudah sarapan, penduduk pribumi mulai bekerja. Di kota-kota mereka tidak bisa bertani. Sementara itu pertukangan dan perdagangan kebanyakan berada di tangan orang-orang Tionghoa. Jadi, selain bekerja seperti yang tadi diceritakan, banyak juga diantara mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah-rumah orang Eropa.
Menjelang pukul empat, mereka kembali mandi di kali. Lalu mereka merokok atau mengunyah sirih sambil mengobrol. Saat musim kemarau mereka bermain layang-layang di lapangan-lapangan dan taman-taman di Batavia.
Baca Juga : Gara-gara 'Ulah' Kapal Selam Indonesia, Jakarta Nyaris Dibom Australia, Pintu Perang pun Nyaris Terbuka
Layangan mereka ada yang bersayap seperti burung, ada yang seperti naga, ada juga yang bisa berbunyi. Ada yang disebut "sawangan", "palembang", "kuncir", dsb.
Ada juga layangan aduan. Layangan berbentuk trapesium dari bambu dan kertas tipis itu digambari tokbh-tokoh. wayang. Benangnya diberi gelasan, yaitu tumbukan beling yang dicampur dengan perekat.
Mereka juga mengadu ayam atau jangkrik, tapi secara diam-diam karena dilarang oleh pemerintah. Dalam semua permainan itu, betapa pun juga serunya, mereka tidak berteriak-teriak seperti orang Barat yang "barbar". Mereka menjaga perasaannya dan menekan rasa irinya terhadap lawan.
Ayam aduan dipelihara dengan seksama. Hewan itu diberi nasi, air, daging cincang, dan jamu! Takarannya sangat cermat. Secara berkala binatang itu dimandikan, dikeramasi, dijemur, dipijat leher, sayap , dan pahanya supaya kuat dan luwes.
Baca Juga : Jika Jakarta Ramai Gara-gara Mesin Pengolah Tinja Jadi Air Minum, NASA Kembangkan Tinja Jadi Makanan
Penduduk pribumi juga senang menonton wayang: wayang orang, wayang kulit. Musik pengiringnya gamelan dan ceritanya diambil dari Mahabharata dan Ramayana.
Masih banyak buaya
Saya mendengar pelbagai dongeng-dongeng Nyai Loro Kidul, dongeng Kyai Belorong, dan macam-macam lagi. Namun, rasanya buaya-buaya yang hidup di rawa-rawa muara Kali Betawi lebih ditakuti daripada Kyai Belorong.
Kadang-kadang reptil itu kelihatan berjemur dengan mulut mengangga. Mereka menunggu bangkai binatang yang dihanyutkan air. Ada kalanya mereka juga menyambar manusia yang sedang mandi.
Baca Juga : DKI Jakarta Bersiap Miliki Pengubah Tinja Jadi Air Minum dalam Setengah Jam
Karena dianggap berbahaya, beberapa tahun sebelumnya pemerintah menjanjikan hadiah bagi orang yang bisa menangkap buaya. Lalu berdatanganlah penduduk yang memikul bangkai-bangkai anak buaya dengan bambu. Walaupun bukan buaya dewasa, pembawanya mendapat hadiah juga.
Kemudian baru ketahuan bahwa penduduk bukan menangkap buaya, melainkan mengambil telurnya untuk ditetaskan. Setelah dipelihara beberapa lama, anak buaya ini dibawa kepada sekdut (polisi). Sejak itu hadiah dihentikan dan buaya-buaya dibiarkan berkembang biak di pantai utara Pulau Jawa.
Sesekali ada juga pemburu yang sok mau berburu buaya. Mereka mengintai berlama-lama di rawa-rawa. Yang mereka peroleh bukan binatang buruan, melainkan demam. Demamnya berbahaya lagi!
Jawa bagi saya, seperti bagi banyak orang, memang harus selalu merupakan negeri dalam mimpi. Negeri Dongeng, dan rumah yang bahagia bagi penduduknya.
Baca Juga : Tak Hanya dari Zaman Penjajah, Banjir Bahkan Sudah Melanda Jakarta Sejak Zaman Raja Purnawarman
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR