Namun, kemudian, akan ada bulan kabisat atau Lun Gwee. Lama bulan kabisat 29-30 hari juga. Penambahan dilakukan setiap 2,7 tahun sekali.
Jadi, ada satu tahun dalam kalender Tionghoa yang punya 13 bulan. Dengan cara itu, selisih 11 hari dengan kalender Masehi bisa diatasi, dan tahun baru Tionghoa tetap jatuh pada musim semi.
Baca Juga : Suzanna si Sundel Bolong dalam Film 'Malam Satu Suro' Ternyata Gemar Makan Bunga Melati
CERMIN PERADABAN
Mengapa orang Tionghoa memasukkan unsur musim, sementara Islam melarang?
Penjelasannya bisa hanya mutlak pada faktor kepercayaan, tetapi juga bisa dibahas secara antropologis.
Secara kepercayaan, masyarakat Tionghoa punya keyakinan bahwa tahun baru harus jatuh pada musim semi, saat musim panen tiba.
Musim semi dinilai sebagai momen keberuntungan. Sementara itu, dalam Islam, memasukkan unsur musim seperti dilakukan dalam kalender China atau masa Quraisy dianggap haram dan mengulur-ulur waktu.
Jika puas dengan penjelasan kepercayaan, mungkin kita lantas menghakimi budaya yang lain.
Namun, jika memahami latar belakang budaya, kita bisa belajar tentang toleransi. Bagi masyarakat Tionghoa, musim memang penting.
"China merupakan bangsa agraris. Jadi, memasukkan unsur musim itu penting," ungkap Hakim. Sebaliknya, tanah Arab adalah gurun, tak mungkinlah bertani.
Arab merupakan wilayah dagang sehingga musim menjadi tak terlalu penting bagi penduduknya.
Baca Juga : Kerbau Bule Kiai Slamet yang Diarak di Malam 1 Suro, Kotoran dan Kutunya pun Diburu karena Dianggap Sakti
Source | : | kompas.com |
Penulis | : | intisari-online |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR