Meskipun tentara Amerika berulang-ulang meyakinkan kepada orang-orang Jepang itu lewat pengeras suara bahwa penyerahan mereka tidak berbahaya dan bukan suatu hal yang hina, namun beberapa penduduk sipil Jepang malah mengikuti tindakan tentara mereka.
Baca Juga : Pembantaian Nanking: 'Neraka' Sementara Buatan Tentara Jepang di China
Banyak keluarga berkumpul di pinggir batu karang kematian. Para orang tua mendorong anak-anak mereka ke laut. Kaum pria mendorong istri mereka. Beberapa orang tampak terjun membelakangi laut, supaya tidak menjadi lemah dalam menghadapi kematian.
Kini, seratus ribu orang Jepang datang setiap tahun ke Saipan untuk melihat tempat yang disebut "Karang Bunuh Diri" itu. Tempat itu kini menjadi objek pariwisata. Hotel yang dikelola oleh orang Jepang di pulau yang kini menjadi wilayah perwalian Amerika itu dibanjiri wisatawan dari Jepang.
Para wisatawan itu juga ditunggu di lapangan golf yang dibuat di dekat karang tempat orang Jepang dulu melaksanakan perintah bunuh diri. Sederetan armada bus sudah siap untuk mengadakan perjalanan keliling pulau dengan melakukan beberapa perhentian untuk foto bersama di tempat-tempat yang bersejarah semasa perang.
Dimanfaatkan mafia Jepang
Sebaliknya, pengunjung yang datang ke bukit tempat bunuh diri di Saipan untuk mencari kerangka seringkali tinggal selama lebih dari beberapa minggu. Soalnya, pencarian di lokasi maut yang kini ditumbuhi tanaman tropis lebat sungguh sulit.
Baca Juga : Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia
Namun, berkat pemandu bayaran, orang Chamorro, yakni pribumi setempat, para pengumpul tulang belulang itu berhasil menemukan lokasi yang diinginkan. Ditemukanlah bekas-bekas pengeboman, puing-puing tank, meriam yang berkarat yang berada di balik semak-semak sehingga nyaris tak kelihatan, dan pantai yang berada di bawah karang maut.
Orang-orang yang usil mengatakan bahwa penduduk setempat sengaja mengimpor tulang belulang dari pulau-pulau tetangga untuk menggairahkan pariwisata tulang belulang.
Meskipun demikian, orang-orang Jepang yakin bahwa mereka tidak keliru mengidentifikasi si mati lewat ciri-ciri yang ditemukan di sekitar tulang belulang itu atau lewat peninggalan senjata dan alat-alat masak.
Begitu para pengumpul yakin mereka telah memperoleh lokasi yang benar dan "menyisirinya" sampai bersih, mereka lalu mengadakan upacara keagamaan secara militer untuk tulang belulang yang berhasil dikumpulkan itu.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR