Tanpa menunggu waktu lagi, LTA yang juga diketuai oleh Siwabessy membuat sebuah rancangan jangka panjang (blue print) pengembangan nuklir nasional.
Baca Juga : Baca Juga : Ronggowarsito, Pujangga Keraton Surakarta Ini Sudah Meramalkan Hari Kematiannya
LTA juga sangat dinamis serta aktif berkeliling dunia untuk mempelajari bagaimana sebuah negara mengelola nuklir.
Kerjasama kanan-kiri dengan negara adidaya macam AS juga tak luput dari agenda LTA, termasuk berkolaborasi dengan International Atomic Energy Agency (IAEA).
AS yang kala itu dipimpin John F Kennedy, memandang proyek nuklir Indonesia bersifat damai alias Atom for Peace dengan ditandai dengan kerjasama bilateral keduanya pada Juni 1960.
Untung berlapis-lapis Indonesia saat kerjasama itu berjalan, sudah dapat duit banyak untuk melakukan riset nuklir dalam negeri plus AS juga mengirimkan tenaga ahli pernuklirannya untuk mengajari ilmuwan-ilmuwan Indonesia melakukan pengayaan uranium.
Baca Juga : Dulu Lahir dengan Berat Sama dengan Sekaleng Coca-cola, Begini Kondisi Bayi ini Sekarang
Padahal ilmu dan segala macam peralatan pengayaan uranium sangatlah mahal serta berharga yang tak setiap negara mau memberikan ilmunya ke negara lain.
Kerjasama itu lantas membuahkan hasil. Pada April 1961 Indonesia selesai membangun reaktor nuklir pertamanya yang diberi nama Triga Mark II.
Program nuklir Indonesia semuanya tampak berjalan mulus sampai akhirnya Kennedy ditembak mati.
Hilangnya Kennedy membuat hubungan AS-Indonesia jadi suram, program nuklir Indonesia yang didukung Paman Sam jadi tak jelas juntrungnya.
Ditambah berkecamuknya Perang Vietnam dan kembalinya Inggris untuk pembentukan Federasi Malaya membuat Soekarno membelokkan program nuklir Indonesia menjadi senjata untuk melawan ancaman asing bila sewaktu-waktu menyatroni Republik.
Source | : | Grid.id |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Aulia Dian Permata |
KOMENTAR