Sebuah patung diarak ke tengah kampung itu, dimana terdapat sebuah beringin besar. Di sana patung itu dimandikan, sesudahnya barulah senjata-senjata mengikutinya.
Pada saat itu beramai-ramailah orang memukul gamelan untuk mengiringi kuda lumping yang karena mantra-mantranya bisa "menjadi" hingga sanggup makan pecahan kaca, gabah, sambal yang luar biasa pedasnya.
Baca juga: Sakralnya Tradisi 1 Suro di Cirebon: Benda Pusaka Disucikan, Sang Kerbau Bule pun Ikut Kirab
Jika kita makan secara biasa tentulah tidak mungkin, tetapi karena kekuatan mantra itu semuanya menjadi seperti nasi saja kelihatannya dan rasanya.
Tiban dimulai
Puncak upacara memandikan senjata dan patung adalah acara tiban yang selalu mendapat perhatian.besar dari masyarakat Ngadiluwih.
Sesungguhnya upacara atau atraksi tiban itu diperuntukkan mendatangkan hujan. Suatu upacara keagamaan nenek moyang kita jika musim kemarau terlalu panjang, sedang tanah-tanah sudah retak-retak, dan tanaman mengering.
Baca juga: Mati Suri dalam Tradisi Jawa: Kematian atau 'Sekadar' Ketidaksadaran?
Peserta yang bertanding adalah mereka dibelahan timur jalan dan sebelah barat jalan, jadi masih dalam kampung Ngadiluwih itu sendiri. Para pendekar selalu bersiap-siap untuk menurunkan murid-muridnya.
Sedang pendekar Itu sendiri belum tentu sekali setahun mau turun, jika tidak dianggap perlu sekali. Jadi mungkin sekali bahwa mereka yang maju di arena hanyalah jagoan cilik yang tidak seberapa ilmunya.
Di sini, ilmu kejawen digunakan untuk memulai ataraksi itu dengan mantra-mantranya.
Setiap peserta membawa semacam cambuk yang dibuat dari lidi enau, dipintal kasar sekali, bahkan di zaman dulu orang selalu membubuhinya dengan paku atau barang tajam lainnya.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR