Bom itu memiliki kit sirip pengendali yang ekonomis, serta menawarkan keunggulan sistem bom berpemandu GPS yang bisa dilepaskan dari jarak 20 km lebih.
Akibatnya, target tidak akan pernah tahu apa dan darimana serangan yang mengenainya sampai saat-saat terakhir sebelum bom itu menghantamnya.
(Baca juga: Jokowi: Tiga Pesawat Tanpa Awak akan Mondar-mandir di Seluruh Indonesia)
Dengan menggunakan JDAM, AU AS memiliki opsi yang lebih banyak saat mengoperasikan MQ-9 tanpa perlu membatalkan misi karena kondisi cuaca yang kurang ideal.
Operator MQ-9 cukup menginput koordinat sasaran baru dan JDAM pun siap dilepaskan.
Bagian MQ-9 yang membuat integrasinya menjadi sulit adalah bagian dimana operator bisa mengupdate koordinat terbaru secara terus-menerus ke Reaper dan pada gilirannya ke unit bom JDAM.
Saat ini nampaknya tantangan itu sudah berhasil diatasi.
Walaupun masih kalah dari bom berpengendali laser dan tidak bisa digunakan untuk mengejar sasaran yang bergerak cepat atau berpindah-pindah, JDAM masih memberikan ‘jendela aksi’ untuk menyelesaikan misi daripada tidak ada pilihan sama sekali.
Dengan akurasi atau CEP mencapai 50 kaki, setidaknya radius ledakan masih cukup letal untuk menghabisi sasarannya.
Satu MQ-9 Reaper memiliki empat pylon untuk mencantelkan senjata. Pylon terluar di setiap sayap dapat dipasangi dengan Hellfire.
(Baca juga: Santet Selalu Ada, Ia Dicaci Juga Banyak Dicari)
Sementara untuk pylon sebelah dalam dapat dipasangi dengan kombinasi satu Paveway dan satu JDAM 500 pon. (Aryo Nugroho/Angkasa)
JDAM bisa jadi pilihan kalau sasarannya statik, berkumpul di dalam sebuah bangunan misalnya.
Dengan bertambahnya jenis bom yang bisa dibawa, bisa jadi Pentagon akan mengandalkan Reaper untuk memburu sasaran ketimbang pasukan khususnya yang terus bertumbangan.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR