Pada hari lain, seorang penduduk desa berlarian mencari lubang perlindungan karena ada kapal terbang mendekat.
Malang, ia tak sempat menghindar, kakinya kena ledakan bom. Dia mati kehabisan darah.
"Hai, kalau begitu kamu hampir saja saya bunuh," katanya.
Saya tersentak kaget. Pemilik toko karpet itu merangkul saya.
"Oh, kamu hampir saya bunuh. Kalau itu sampai terjadi, tentu kau tidak ada di sini," lanjutnya menghibur keharuan saya.
Selanjutnya mantan pejuang ini mencentakan pengalamannya dalam Perang Pasifik tersebut, juga tentang kawan-kawannya yang gugur dan keluarganya yang terbunuh dalam kamp-kamp konsentrasi Hitler.
Selesai bercenta, terlihat matanya berkaca-kaca terharu.
Yang jelas, sore itu saya pulang ke rumah dengan setumpuk kenangan. Karpet pun tak jadi dibeli.
Esok harinya, dia saya perkenalkan kepada istri dan anak saya. Dia bercenta tentang istri dan kedua anaknya yang sudah menikah.
Mereka tinggal di bagian ujung Long Island. Setiap musim dingin keluarga ini bermigrasi ke Flonda sampai bunga-bunga bersemi kembali.
Dua tahun lamanya kami tinggal di Brooklyn. Sejak pertemuan itu hubungan kami terjalin akrab.
Bahkan setelah kembali ke Indonesia pun korespondensi terus berjalan. Kebiasaan yang sampai sekarang terus dilakukan, menyisipkan satu dolar untuk anak saya.
"Untuk beli es krim,” begitu tulisnya.
Baca juga: Ramalan Nostradamus: Perang Dunia III Mulai dari Timur Tengah
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR