Istri saya sakit keras, sehingga pada saat-saat itu muncul pikiran yang bukan-bukan, khawatir kalau-kalau yang akan pulang bersama saya hanyalah namanya saja. Alhamdulillah akhirnya kami pulang dengan selamat, walaupun setiba di rumah istri saya harus berbaring sebulan lebih di kamar, sampai bronkhitisnya baik benar.
Maka terbayang pula kepada saya saat-saat ketika melontar di Mina, ketika berdesak-desakan mencari Jabal kurban untuk mencari kambing, kemudian bergegas menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadah, pada saat mana istri saya berkali-kali pingsan, tetapi tetap keras hatinya untuk melaksanakan ibadah itu dengan sabar dan tekun di tengah gelombang lautan manusia yang berdesakan.
Baca juga: Merayakan Idul Adha, Begini Cara Menikmati Kambing dengan Tepat dan Nikmat
Ketika saya sedang membayangkan kembali adegan demi adegan itu, tiba-tiba terdengar oleh saya ada sedu tertahan di sebelah. Saya membuka mata dan menoleh kepada orang yang berada di samping kiri saya.
Terlihat bahwa ia mencoba menahan sedu-sedannya, dan tangannya menghapus air mata yang deras mendesak ke luar. Saya tiba-tiba merasa heran, mengapa saya sendiri tidak mengalami emosi yang mendera air mata saya ke luar, padahal biasanya pada saat-saat seperti itu saya tak dapat menahan luapan emosi yang mendesak dada.
Saya merasa wajar saja kalau menangis pada saatsaat seperti itu. Karena itu saya merasa heran — dan menyesal pula — bahwa di Tokyo ketika pertama kali bersembahyang Id di negeri asing, saya malah tidak merasakan emosi itu.
Setelah khutbah selesai, masih diikuti oleh tiga orang mengaji beberapa surat pendek. Setelah itu barulah orang bergerak untuk saling bersalaman, saling mengucapkan selamat.
Baca juga: Cerita Salon Sapi Mbah Ngasimin yang Laris Manis Menjelang Idul Adha
Orang-orang Indonesia mengucapkan "Minal aidin walfaizin". Orang-orang yang berasal dari negara dan terdiri dari berbagai macam bangsa, yang mempunyai bahasa yang berlain-lainan itu, saling tegur dengan ramah. Saling ucapkan selamat.
Mereka semua betul-betul kelihatan sebagai sebuah keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Percakapan antar-bangsa dilakukan dalam bahasa Inggris atau bahasa Jepang.
Para jemaah disilahkan untuk minum dan makan-makan sekedarnya di halaman mesjid, di mana sudah dipasang beberapa meja yang menyediakan roti, jeruk, pisang dan air teh susu.
Semua orang, laki perempuan, orang tua dan anak-anak, dengan sabar dan gembira mengambil penganan yang diingininya sambil mengisi gelas kertas dengan teh-susu. Tadi pagi saya belum sarapan.
Karena memang dianjurkan untuk berpuasa dari rumah kalau mau sembahyang Idul adha; berlainan dengan sembahyang Idul fitri: dianjurkan untuk jangan berpuasa.
Maka saya pun segera mengambil sepotong roti, segelas air dan kemudian ditambah dengan sebuah jeruk. Saya mensyukuri nikmat ini sambil bercakap-cakap dengan saudara Anas Makruf, yang juga sejak beberapa lama tinggal di Tokyo.
Di samping itu saya bertemu dengan kawan-kawan lain dari KBRI. Dari mereka saya mendengar bahwa di Balai Indonesia akan diselenggarakan pemotongan kambing kurban.
Mendengar kambing disebut, maka saya jadi teringat akan kekurangan yang sejak semula saya rasakan, yaitu tak melihat ketupat dan gulai — penganan "tradisional" yang harus ada pada hari lebaran di rumah, baik lebaran puasa maupun lebaran haji.
Tetapi bagaimana pula akan mengharapkan ketupat dan gulai di Tokyo! Bahwa sehabis sembahyang saya bertemu dengan sesama ummat, dan bahkan dengan kawan-kawan yang saya kenal, sambil mendapat pula minuman yang hangat dan penganan yang lezat, sudah merupakan suatu nikmat yang perlu disyukuri.
Baca juga: Astronaut juga Berpuasa dan Salat di Angkasa Luar, Bagaimana Caranya?
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR