Daripada Saling Menghancurkan, Ayo Bernegosiasi untuk Mencari Solusi Saja!

Moh Habib Asyhad

Penulis

Negosiasi untuk mencari solusi
Negosiasi untuk mencari solusi

Intisari-Online.com – Masih ingat dengan sengketa perbatasan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?

"Geregetan", seperti lagunya Sherina Munaf, jika menyimak berita-berita tentangnya. Setelah P. Sipadan dan P. Ligitan lepas, suasana psikologis yang muncul adalah pihak "sana" makin percaya diri, dan sangat yakin bahwa perang tidak mungkin dipilih untuk menyelesaikan masalah.

Jadi "kemenangan" dan "kekalahan" akan ditentukan oleh kepiawaian bernegosiasi.

Suasana psikologis memegang peran yang sangat penting dalam negosiasi. Karena kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk memunculkan kekuatan persuasi atau faktor ketidakagresifan intelektual (intellectual non-aggressiveness) yang melekat dan menghindari pamer kekuatan secara kasar (crude power).

Tampaknya jiran kita cukup piawai dan secara psikologis menempatkan kita pada posisi yang lemah daya tawar (bargaining position) -nya.

Situasi psikologis ini tidak selalu identik dengan realitas, karena sangat tergantung dengan persepsi masing-masing pihak. Rasa percaya diri para pelaku negosiasi menentukan nuansanya.

Pada masa-masa rintisan dan awal kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Soekarno, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Roem, tampil penuh percaya diri meskipun sebenarnya mereka tidak memiliki daya tawar yang tinggi.

Mungkin mirip "bonek" zaman sekarang, nothing to lose. Ada kisah tentang Soekarno, pemimpin sebuah negara yang baru lahir, dengan percaya diri bernegosiasi dengan negara adidaya pemenang Perang Dunia Kedua, AS.

Kepiawaian berdiplomasi dan bernegosiasi sangat membantu Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya.

Kemampuan diplomasi memang acap diidentikkan dengan kepiawaian bernegosiasi. Tapi sebenarnya negosiasi dibutuhkan dalam segala sendi kehidupan, terutama karena tumpuannya adalah menyelesaikan persoalan tanpa menggunakan kekerasan.

Rakyat Aceh misalnya, setelah empat dasawarsa dicekam oleh ketakutan yang berkepanjangan, sejak lima tahun silam mulai menikmati udara perdamaian.

Persoalan yang ingin diselesaikan dengan jalan kekerasan, menjadi jalan yang tak berujung yang memakan banyak korban.

Tatkala kedua belah pihak duduk di meja perundingan untuk bernegosiasi, persoalan pun dapat diselesaikan.

Maraknya berbagai peristiwa kekerasan antarkomunitas belakangan ini juga menandakan ketidakmampuan orang menjadikan negosiasi sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah.

Yuk, belajar dari anak-anak

Tahukah Anda siapa negosiator ulung? Anak-anak! Ya, kita sering tidak tahan terhadap rengekan anak. Mereka tidak kenal menyerah (persistent). Juga tidak kenal malu. Mereka tahu benar kelemahan kita.

Jika mereka menangis kita akan merasa iba, bahkan merasa bersalah. Tapi terhadap anak-anak kita tidak pernah merasa menjadi orang yang "kalah" pada saat mereka "menang" - berhasil memperoleh yang mereka inginkan atas pengorbanan kita.

Bahkan kita juga merasa menjadi pemenang, karena bisa memenuhi keinginannya dan menyenangkan hatinya. Win-win solution. Benar-benar kekuatan persuasi yang luar biasa.

Negosiasi memang menelusup dalam segala segi kehidupan. Dalam rumah tangga, negosiasi antara suami dan istri kerap dibutuhkan. Perjalanan rumah tangga, tentu tidak kalis dari konflik karena masing-masing mempunyai keinginan dan pandangan yang tidak selalu sejalan.

Dalam bisnis, negosiasi mendapat tempat terhormat. Keberhasilan negosiasi misalnya ditunjukkan dengan keberhasilan perusahaan mendapatkan pasokan dengan harga bagus.

Dalam masalah perburuhan, keberhasilan negosiasi dapat mencegah penurunan semangat kerja, rasa permusuhan, dan kemungkinan timbulnya kerusuhan. Perasaan "menang" dari perspektif masing-masing pihak merupakan cermin keberhasilan negosiasi.

Seperti melihat angka sembilan yang kalau kita melihat dari sudut pandang yang lain menjadi angka enam, negosiasi berusaha agar masing-masing pihak melihatnya sebagai angka sembilan.

Sejatinya, sebuah negosiasi merupakan metode mencapai persetujuan bersama, yang melibatkan elemen kooperatif dan kompetitif. Harus kooperatif, karena pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi harus memiliki kemauan mencapai kesepakatan yang diterima dan saling menguntungkan.

Sekaligus bersifat kompetitif, karena pihak-pihak yang bernegosiasi berkeinginan mencapai hasil terbaik untuk pihaknya.

Lewat negosiasi diharapkan tercapai kesepakatan yang masuk akal, mampu menjawab kebutuhan pihak-pihak yang bernegosiasi, dapat diterima dengan pengorbanan yang masih dapat ditoleransi, dan tanpa ada pihak yang kehilangan muka.

Negosiasi diperlukan jika terjadi konflik kepentingan, terdapat ketidakjelasan hingga derajat tertentu mengenai solusi yang dianggap benar, serta terdapat suatu peluang untuk melakukan kompromi, untuk menghasilkan suatu persetujuan yang memuaskan kedua belah pihak.

Kekuatan negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian kesepakatan yang saling menguntungkan. Negosiasi membuka jalan dan harapan baru bagi pihak-pihak yang terlibat dengan cara yang unik, melalui motivasi.

Jadi kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk memotivasi pihak lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan negosiasi.

Atau dengan kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk memunculkan kekuatan persuasi atau faktor ketidakagresifan intelektual yang melekat dan menghindari pamer kekuatan secara kasar.

Unsur penting: kekuatan, informasi, waktu

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam negosiasi, yakni penawaran murni (pure bargaining - PB) dan pemecahan masalah bersama (joint problem solving - JPS).

Dalam PB, konflik kepentingan lebih tinggi ketimbang kepentingan bersama, prosesnya berlangsung kompetitif, serta lebih berdasarkan kekuasaan.

Sebaliknya dalam JPS derajat kepentingan bersama lebih tinggi ketimbang konflik kepentingan, proses kooperatif, lebih didasarkan pada informasi dan kepercayaan. Pendekatan terbaik bergantung pada situasi yang dihadapi.

Bila posisi lebih kuat, terdapat perbedaan tujuan dan minat yang tajam, tidak menginginkan hubungan jangka panjang yang harmonis, tidak mempercayai pihak lain, dan persetujuan mudah diimplementasikan, maka pendekatan PB cocok untuk dipilih.

Namun bila pihak-pihak yang bernegosiasi memiliki minat dan tujuan yang sama, kekuatan lebih lemah atau paling tidak setara, menginginkan hubungan jangka panjang yang harmonis, dan persetujuan kemungkinan sulit diterapkan, pendekatan JPS akan lebih baik.

Bagaimanapun, mengingat negosiasi bertujuan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, maka kedua pendekatan di atas sejatinya dapat diseimbangkan melalui pembentukan kepercayaan dengan menunjukkan itikad/kemauan untuk terbuka tetapi tidak berlebihan.

Menciptakan iklim yang bersahabat, mendengarkan kebutuhan pihak lain, menjelaskan isu-isu utama, dan mengidentifikasi elemen kooperasi dan kompetisi dengan terlebih dahulu diawali dengan elemen kooperasi.

Kenyataannya, tidak mudah untuk menciptakan suasana menang-menang yang menuju pada kesepakatan bersama. Berbagai faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi dan dapat menurunkan rasa percaya antar-pihak yang berunding.

Apabila hal ini tidak diatasi, maka negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat berbalik menjadi sarana destruktif yang berakibat panjang.

Unsur penting dalam negosiasi adalah kekuatan, informasi, dan waktu. Kekuatan yang dimaksud tentu saja bukan kekuatan yang kasar dan brutal, tetapi sederet kekuatan lain, seperti kekuatan bersaing, kekuatan mengambil risiko, kekuatan komitmen, kekuatan keahlian, kekuatan menganalisis kebutuhan, kekuatan pengorbanan, dan kekuatan membujuk.

Kelengkapan dan keakuratan informasi juga merupakan senjata yang ampuh dalam negosiasi. Jika kita tahu bahwa "lawan" kita tidak mempunyai alternatif, kita dapat menaikkan posisi tawar kita.Dan "waktu" dapat dimanfaatkan untuk menaikkan posisi dalam negosiasi.

Biasanya dalam negosiasi yang menyangkut persoalan yang bernilai tinggi, dilakukan secara kelompok. Misalnya negosiasi antarnegara.

Keuntungan negosiasi model ini adalah lahirnya lebih banyak informasi dan ide, sehingga analisis yang dilakukan menjadi lebih mendalam. Juga ada pemilahan tugas antaranggota sehingga memudahkan pemecahan kasus yang rumit, serta meningkatkan rasa percaya diri.

Bagaimanapun, negosiasi model ini tak lepas dari sejumlah kekurangan, yaitu informasi menjadi lebih mudah bocor, kemungkinan terjadinya fragmentasi akibat tidak tercapainya kesepakatan internal, respons yang lebih lamban, dan lebih besar kemungkinan menemui jalan buntu.

Sehingga tetap dibutuhkan kehati-hatian.

Negosiasi antarbudaya

Dalam menghadapi era global, semakin meningkat kemungkinan untuk bernegosiasi dengan berbagai pihak dari berbagai penjuru dunia. Dalam hal ini upaya menciptakan situasi winwin menjadi semakin kompleks, terutama ka-rena latar belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda.

Kegagalan negosiasi dalam konteks intemasional yang seringkali muncul adalah ketidakmampuan negosiator untuk menghidupkan suasana winwin, serta kelalaiannya dalam mengelola kesenjangan budaya.

Di samping itu, perbedaan bahasa kerap mempengaruhi penerimaan informasi dan pembentukan persepsi pihak lawan runding.

Untuk mendukung terciptanya negosiasi antarbudaya efektif, terdapat empat faktor budaya yang harus diperhatikan. Yang meliputi identifikasi pemanfaatan waktu, individualisme versus kekuatan kelompok, pola komunikasi dan seberapa pentingnya formalitas, serta taat asas bagi suatu pihak.

Keempat faktor ini perlu dipahami secara mendalam karena mempengaruhi aspek-aspek utama dalam proses negosiasi, antara lain: ritme, strategi, dan hubungan yang harmonis.

Selain itu, keempat faktor tersebut juga membantu dalam mengidentifikasi pola pengambilan keputusan, memahami alur pikir pihak lawan runding dan memberikan kontribusi cukup besar dalam hal pemahaman hal-hal yang berkaitan dengan kontrak dan administrasi.

Jadi, mari tinggalkan penyelesaian masalah dengan kekuatan, apalagi kekerasan. Ayo, bernegosiasi.

(Ditulis oleh Himawan Wijanarko dan pernah dimuat di Intisari edisi Desember 2010)

Artikel Terkait