Intisari-Online.com –Aku terlahir dalam sebuah keluarga kecil jauh di pinggiran kota Yogyakarta. Tepatnya di sebuah desa di kaki bukit-bukit yang masih hijau. Keluargaku sangat sederhana. Kehidupan kami masih akrab dengan budaya Jawa dan dinamika kebersamaan dalam masyarakat desa seperti tegur sapa dan gotong royong.
Masa kecilku kulalui dengan bahagia. Cinta dari orangtua membalut kehidupanku, menjadikan aku tumbuh dan merangkak menuju masa remajaku. Meskipun keluargaku sederhana, semasa kecil, aku tidak pernah merasa kekurangan apa pun. Sarana sekolah seperti tas, buku, baju, sepatu, uang saku, dan kebutuhan lainnya tercukupi. Akan tetapi, ketika SMP aku merasakan hal yang berbeda. Seiring dengan kebutuhanku dan kebutuhan kakakku yang semakin besar, aku sangat merasakan bahwa keluargaku adalah “wong cilik”, keluarga yang tidak mampu.
Ketika itu aku mulai bersekolah di kota, dari SD yang “ndeso” hijrah ke SMP yang kota dan lumayan favorit. Dalam pergaulan aku makin merasakan bahwa status ekonomiku berada di bawah teman-temanku.
Kenyataan ini membuat aku minder. Aku tidak banyak memiliki teman dekat seperti saat di SD, dan aku tidak lagi vokal seperti saat SD. Aku lebih banyak diam.
Krisis moneter yang melanda Indonesia mempengaruhi ekonomi keluargaku. Lebih lagi keluargaku ditipu mentah-mentah oleh salah seorang kerabat orangtuaku. Peristiwa ini kontan memukul hidupku, terlebih kehidupan ekonomi keluargaku
Waktu itu aku mau masuk SMU. Orangtuaku harus cari uang lagi untuk pendaftaran. Bagi kami uang yang tak kembali itu sangat berharga karena sangat kami butuhkan. Tetapi ketika kami akan memakai uang itu malah tidak ada.
Kerabat itu mengingkari janjinya dan tidak mau mengganti uang keluargaku. Mengalami semua itu aku hanya bisa diam. Aku tak memiliki kekuatan apa-apa. Aku masih terlalu belia untuk memikirkan hal besar itu.
Namun dalam diam itu, aku memendam sebuah perasaan luka kepadanya. Namun luka ini tak mengubah banyak, malah semakin memenuhi pikiranku dan keadaan juga tidak berubah.
Di SMU, yang kuhadapi tidak jauh berbeda dengan pengalamanku di SMP. Aku juga bersekolah di salah satu SMU unggulan. Keadaan ekonomi keluargaku juga tidak membaik.
Jurangnya ekonomi keluargaku justru semakin tampak. Aku tidak memiliki apa yang teman-temanku miliki. Aku tidak memiliki motor bagus, aku tidak memiliki ponsel yang bagus, tak memiliki sisa uang saku yang banyak.
Pokoknya apa-apa yang kumiliki hanya pas-pasan. Di SMU ini pula aku mengukir prestasiku dalam hal menulis, baik di sekolah maupun di tingkat provinsi. Aku pernah masuk nominasi dalam beberapa lomba yang diselenggarakan di tingkat provinsi, dan ini menjadi penghibur bagiku.
Aku memiliki harapan baru akan hidupku yang lebih baik. Aku tak lagi terlalu terpaku pada masalah keluargaku.
Di sisi lain, dari pengalamanku berjumpa banyak orang dan teman, aku memiliki idealisme tersendiri akan sebuah keluarga. Keluarga ideal bagiku adalah keluarga yang bahagia, kecukupan materi dan non materi, terutama materinya.
Aku merasa ada yang kurang dari keluargaku. Dalam hal perhatian dan cinta aku merasa tidak kekurangan tapi dalam hal materi aku merasa kurang. Keluargaku tidak sesuai dengan idealismeku. Sekurang-kurangnya apa yang kudapatkan belum sesuai dengan apa yang kuberikan (prestasi-prestasiku).
Pernah pada suatu ketika aku marah besar. Pertama, aku marah kepada diriku sendiri, kenapa dilahirkan dalam keluarga yang hidupnya pas-pasan ini? Kenapa aku harus melalui masa-masa harus tergantung kepada orangtuaku?
Kedua, aku marah kepada orangtuaku. Aku marah karena mereka tidak bisa membahagiakan aku dengan sempurna. Mereka tidak bisa memberi aku cukup materi. Mereka tak bisa memberi aku fasilitas hidup yang bagus dan membanggakan. Bahkan aku juga marah kepada Tuhan. “Tuhan, mengapa aku yang harus mengalami semuanya ini? Mengapa harus aku?”
Aku merasa dalam peristiwa ini tidak ada keadilan. Aku merasa, perbuatan-perbuatan baikku, prestasi-prestasiku, tidak ada gunanya. Nyatanya, teman-temanku yang nggak karuan hidupnya bisa lebih bahagia dan tercukupi kebutuhannya. Bahkan sampai melimpah. Sedangkan aku kerap kali harus menanggalkan keinginan-keinginanku karena tak akan bisa kudapat. Aku iri. Aku menolak diriku, orangtuaku, dan keadaanku. Aku sering berandai-andai menjadi temanku. Betapa enaknya mereka: tidak usah belajar keras, mendapat fasilitas lengkap, uang saku banyak, rumah bagus.
Pokoknya serba menyenangkan. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain; aku merindukan orangtua yang bisa memenuhi kebutuhan materialku, tidak hanya cinta dan perhatian. Aku merasa, hal itu masih kurang.
Menurut pendapatku keluarga ideal belum bisa kucapai bersama orangtuaku. Aku belum merasa bahagia dengan keadaanku.
Itulah kehidupanku yang lalu. Saat itu aku meratapi apa yang terjadi padaku. Aku menjadi pemberontak kecil, namun tidak pernah marah di hadapan orangtuaku. Tidak pernah sampai membanting barang-barang.
Aku melampiaskannya dengan menulis. Aku menulis apa pun yang ingin kuhujatkan di dalam bukuku. Biasanya aku mengurung diri di kamar, diam, merenung, dan menulis sampai kemarahanku berkurang. Setelah itu semua berjalan seperti biasa.
Pada suatu saat, setelah aku semakin menjadi dewasa, aku menemukan sebuah kesadaran. Ternyata aku merindukan sebuah idealisme keluarga dengan menolak realitasku. Padahal, di dunia ini tidak ada yang ideal.
Segala sesuatu pasti ada kekurangannya. Dalam hidup ini, ada hal-hal yang bisa kukendalikan dan ada yang tidak. Aku tidak bisa mengenalikan tempat aku akan lahir, di keluarga mana aku hidup, siapa ayahku, siapa ibuku, dan sebagainya. Namun ada hal yang bisa kukendalikan, yaitu reaksiku terhadap semua itu.
Aku mulai berpikir jernih. Ternyata selama ini aku memandang kedua orangtuaku hanya dengan kacamata materi. Aku tidak pernah memperhatikan aspek lainnya. Maka aku juga merasa berdosa terhadap mereka. Aku buta.
Aku hanya ingin semuanya tersedia. Aku tidak pernah mengerti bagaimana orangtuaku mengusahakannya untukku. Aku telah terenggut tiga godaan utama manusia, yaitu dunia, daging, dan setan. Aku telah menolak realitas yang diberikan Tuhan padaku untuk kuhadapi.
Aku juga disadarkan, aku terlalu mencintai dunia dan keinginan akan harta milik. Aku diperbudak dan terjerat oleh pandangan palsu. Akibatnya, karena tak dapat memilikinya aku menolak hidupku, bahkan orangtuaku.
Hingga suatu hari kurasakan ucapan-Nya, “Orang yang berbahagia adalah orang yang bersemangat miskin”. Kini aku melihat orangtuaku dengan cara lain. Ternyata perjuangan mereka bagiku begitu keras; bekerja untukku, mencukupi kebutuhan keluarga, walau sulit.
Aku tak pernah mau mengerti bahwa mereka selalu ingin membahagiakan diriku sampai tetesan keringat yang penghabisan.
Di balik semuanya itu aku melihat Tuhan memberi banyak. Aku memiliki orangtua yang mencintaiku, orangtua yang bisa memberiku kebebasan. Aku tak pernah merasa dikekang.
Setiap kali aku minta izin ikut kegiatan ini atau itu mereka selalu mengizinkanku. Mereka telah menjadi teladan yang nyata, mengajariku mengenal lebih luas arti kehidupan manusia: manusia itu tidak hidup hanya untuk bahagia tetapi juga untuk menderita. Aku tahu cinta mereka lebih bernilai daripada barang dan harga seberapa pun banyaknya. Aku yakin tidak akan tumbuh menjadi aku seperti sekarang jika hanya mendapat materi yang cukup, tetapi tanpa cinta mereka.
Cinta lebih penting daripada materi. Aku merasa lebih bersyukur karena mendapatkan lebih banyak cinta daripada yang lain. Aku salah melihat karena wawasanku kurang luas dan idealismeku keliru. Aku yakin mereka adalah yang terbaik bagiku. Terima kasih Tuhan. (Ssst..Ortuku Kolot)