Jangan Sembarangan Memilih Bahan Bakar Jika Tidak Ingin Mesin Jadi Taruhannya

Moh Habib Asyhad

Editor

Pintar-pintarlah memilih bahan bakar mobil
Pintar-pintarlah memilih bahan bakar mobil

Intisari-Online.com - Pada September 2016, PT Pertamina (Persero) mencatat bahwa penjualan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis Pertamax Series kian meningkat.

Peningkatannya tak tanggung-tanggung! Mencapai 45 persen dari total konsumsi BBM keseluruhan, yakni 91 ribu kiloliter (kl) per hari.

Hal serupa juga terjadi pada Pertalite. Pada semester I/2016, konsumsi hariannya hanya sekitar 6.500 kl/hari. Namun, angka itu meroket pada September 2016. Konsumsi perharinya mencapai 25 ribu kl/hari. Apa pasalnya?

(Baca juga:10 Trik Sederhana Menghemat Bahan Bakar Mobil Anda)

Sebenarnya alasannya sederhana. Sebab permintaan BBM jenis premium di pasaran makin turun. Beda tipis harga antara Pertamax Series dan Pertalite dengan Premium, membuat para konsumen kian selektif saat menenukan BBM dengan kualitas yang bagus. Alhasil, konsumsi harian Premium turun sekitar 20 ribu kl/hari.

Dalam memilih bahan bakar, kini banyak orang cenderung memilih BBM yang ramah lingkungan dan berkadar oktan tinggi. Seperti Pertamax dan Pertalite, misalnya. Menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan Premium memang tak ada salahnya.

Namun, yang jadi masalah, apakah teknologi mobil kita mendukung?

Kadar oktan berpengaruh

Banyaknya varian bensin tak jarang membuat galau pengguna kendaraan saat ingin membelinya. Padahal, kriteria bensin dengan oktan yang tepat sebenarnya sudah ada di buku manual.

Oktan merupakan angka yang menunjukkan besaran tekanan maksimum yang diberikan di dalam mesin, sebelum bensin terbakar secara spontan oleh percikan api dari busi.

“Semakin tinggi oktan, kemampuan dia (bahan bakar) terbakar dengan sendirinya semakin kecil,” terang Dosen Teknok Mesin ITB, Tri Yuswidjajanto pada Kompas.com.

Oktan sendiri dibagi kedalam dua kategori, yaitu Research Octane Number (RON) dan Motor Octane Number (MON). RON diperoleh dari simulasi kinerja bahan bakar saat mesin dioperasikan dalam kondisi standar.

(Baca juga:Wanita Ini Mencoba Mendaur Ulang Karbon Dioksida Sebagai Bahan Bakar Pengganti Minyak Bumi)

Sedangkan MON dioperasikan dalam kondisi berat. Angka oktan MON bisa 10 poin lebih rendah dibandingkan dengan angka oktan RON. Nah, angka oktan yang kita lihat dibelakang nama produk bensin di SPBU di Indonesia adalah RON.

Misalnya, Pertamax Plus 95, berarti kadar oktannya sebesar 95. Sedangkan di Amerika Serikat beda lagi. Angka oktan yang tertera di tempat pengisian bahan bakar diambil dari angka rata-rata RON dan MON.

Jadinya, angka itu lebih rendah dibandingkan dengan oktan yang tertera di negara kita.

Lalu, apa dampaknya kalau RON tidak cocok dengan spesifikasi mesin? Salah satunya akan menimbulkan detonasi mesin atau knocking. Orang awan menyebutnya dengan “ngelitik”.

Detonasi ini terjadi saat pembakaran bahan bakar pada mesin tidak tepat pada waktunya. Di sini bensin lebih cepat terbakar secara spontan, sehingga tenaga untuk menggerakkan mesin lebih kecil dari yang dibutuhkan.

Nah, inilah yang akan terjadi bila kita menggunakan kadar oktan yang terlalu rendah.

”Jadi bukan ring seker, piston, atau gigi yang koplak. Kalau pakai bensin dengan RON yang sesuai rekomendasi, pembakaran akan lebih sempurna dan membuat tenaga mesin menjadi optimal. Bunyi ngelitik juga akan hilang,” kata Yus.

RON yang terlampau rendah tak hanya merusak komponen mesin. Ia juga bisa mereduksi efisiensi bahan bakar. Akibatnya, bukaan gas lebih besar untuk mendapatkan tenaga yang sesuai

Bagaimana jika oktan yang digunakan terlalu tinggi? Ternyata tidak selamanya teori pemakaian bensin dengan RON tinggi, akan membuahkan hasil yang baik untuk mesin. Sebab RON yang kelewat tinggi, bisa membuat bensin terlambar terbakar.

Alih-alih ingin meningkatkan performa mesin, justru malah membuat performa mesin tidak maksimal dan boros bensin. Singkatnya, bila RON terlalu besar, mesin pun tak akan bisa menerima. Alhasil, efek negatif yang akan dirasakan.

Jadi, jangan berharap tenaganya akan meningkat. Kalau teralu rendah, akibatnya beda lagi. Yaitu, membuat umur mesin jadi pendek, boros bensin, dan tenaga menurun. Jadi, perhatikan dulu teknologi yang diusung. Setelahnya, barulah pilih jenis bensinnya.

Ditentukan oleh kompresi

Berbicara bahan bakar, tak jauh-jauh dari rasio kompresi suatu mobil. Rasio kompresi berarti perbandingan antara volume slinder ketika piston berada di titik terendah, dengan posisi piston pada titik paling atas.

Nah, semakin tinggi perbandingannya, berarti udara yang terkompresi semakin banyak. Artinya, bahan bakar yang terbakar pun bisa semakin banyak.

Mobil saat ini menggunakan perbandingan kompresi tinggi, antara 9:1, 10,5:1, hingga 11-13 :1 untuk mesin yang lebih canggih. Nah, tiap mesin memerlukan dukungan bahan bakar beroktan yang sesuai dengan teknologi mesinnya.

Mesin berkompresi tinggi membutuhkan bensin berokatan tinggi pula. Tujuannya agar bahan bakar cepat terbakar.

Hal ini “wajib” diterapkan agar bensin yang dikompresi tidak menyebabkan detonasi, atau “meledak” duluan sebelum busi memercikkan api. Kalau itu terjadi, alhasil bisa menimbulkan dua kali ledakan.

(Baca juga:Wow! Bus Ini Berbahan Bakar Kotoran Manusia)

Nah, jika hal ini sering terjadi, dapat membuat umur bensin pendek hingga boros bensin. Selain itu, tujuan agar mesin ramah lingkungan pun tak akan terwujud. Sebab mesin tetap menghasilkan polusi yang tinggi.

Untuk mencegah “meledak”, bensin ditambahkan oktan yang dibuat dari berbagai macam bahan (dulu timbal atau Pb). Soalnya semakin tinggi nilai oktan, semakin hebat pula kemampuannya untuk mencegah “menembak”.

Meskipun begitu, masih ada beberapa faktor lain yang menentukan pemilihan oktan. Misalnya, suhu, putaran dan beban mesin, dan ketinggian tempat.

Pada mesin-mesin modern, terutama sistem injeksi, untuk mencegah detonasi itu dapat diatasi dengan teknologi knock sensor. Teknologi ini bertugas untuk memantau kerja mesin.

Bila terjadi gejala detonasi, sensor akan melapor ke komputer mobil untuk memajukan waktu pengapian agar mencegah terjadinya dua kali pembakaran.

Namun, fungsi teknologi ini juga bisa tergerus oleh usia. Semakin sering dan berat kinerjanya, semakin pendek pula usianya. Makanya, memilih menggunakan oktan yang sesuai dengan teknologi mobil kita, adalah pilihan terbaik.