Para dokter berkebangsaan Rusia, Jerman Timur, Cekoslowakia dan Kuba; sama sekali tidak memperhatikan kesehatan para tahanan. "Mereka malahan melakukan percobaan untuk mengetahui reaksi kekurangan hidrat arang akibat pemberian makanan yang minim dan murah, seperti makaroni, mi kuah dan roti. Percobaan baru dihentikan kalau salah satu dari tiga tahanan meninggal," katanya.
Nasib Valladares tidak juga membaik, meskipun ia dipindahkan ke Havana, di sebuah penjara yang tadinya merupakan benteng Spanyol, La Cabana, yang berusia dua ratus tahun. Paling sedikit bersama-sama 150 tahanan lainnya, ia ditaruh di ruang bawah tanah yang gelap. Dengan bertelanjang dada, mereka dipaksa tidur di ruangan becek.
"Kami adalah kaum pemberontak," kata Valladares, "Karena kami dengan keras kepala menolak untuk dididik kembali." Menurut perkiraan Valladares, ada kira-kira 330 tahanan lagi di penjara Kuba dari masa awal pemerintahan Castro.
"Siang malam, teror dan pukulan menghantam kami untuk melumerkan ide politik kami," kisahnya.
Baca juga: Dianggap Terlalu Berani Menentang AS, Kuba di Bawah Castro Justru Ukir Banyak Prestasi Mengagumkan
Ketemu "Penelope" yang setia
"Pada tahun 1974, saya tinggal mengatakan, bahwa kritik saya terhadap rezim Castro tidak benar, kalau saya hendak dibebaskan. Namun pengakuan semacam itu betul-betul merusak jiwa manusia.
Bagi mental saya, lebih baik kalau saya bisa terus terang mengatakan kejahatan para penjaga. Apa lagi yang akan terjadi pada diri saya? Sejauh ini, saya bahkan merasa lebih bebas daripada orang-orang Kuba yang berada di luar penjara, yang harus berputar-putar,'" ceritanya.
Dinas keamanan Kuba menghukum para pembangkang secara brutal. Mulai bulan Juni 1974, Valladares dan teman-teman seperjuangannya selama 46 hari tidak diberi makanan apa pun kecuali air.
Baca juga: Saat Fidel Castro Terperangah Melihat Tongkat Bung Karno
Kejadian itu berlangsung di Penjara Cabana. Akibat perlakuan itu, timbangan Valladares tinggal 45 kilogram dan ia tak bisa berjalan. Kekurangan makanan menyebabkan sarafnya meradang, hingga melumpuhkan kakinya. Namun ia tak menyerah, meski harus duduk di kursi roda.
"Saya jadi penyair di penjara," kata Valladares. Dalam bentuk sajak, ia menceritakan tentang mimpi buruk terali besi, darah dan bayonet.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR