Advertorial

Soal Cara Memberi Hukuman, Kompeni dan Raja Mataram Sama Sadisnya

Intisari Online
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com –Kalau kita berdiri dengan tenang di depan Stadhuis (Balai Kota) kemudian memandang ke arah di mana dahulu berdiri kastil Batavia yang didirikan oleh Coen, seolah-olah masih terngiang di telinga kita bunyi dentang 'lontjeng kuwasa' ", demikian antara lain tulis de Haan dalam bukunya yang terkenalOud-Batavia.

Memang genta yang dipasang pada menara bagian Selatan kastil Batavia dahulu diberi julukan "lonceng kuasa" oleh penduduk, karena benda itu seolah-olah menentukan kehidupan mereka di sekitar kota.

Lonceng itu berdentang tidak hanya untuk menunjukkan waktu akan tetapi juga bila ada hal-hal lain: pengumuman-pengumuman baru, pemasangan plakat yang berisi peraturan-peraturan baru atau bila akan dilakukan eksekusi terhadap seorang terhukum kelas berat.

Dan beredarlah ceritera-ceritera ngeri mengenai cara melaksanakan hukuman tadi.

Baca juga:Saking Canggihnya, Presiden Rusia Vladimir Putin Sebut Tank Armata Bisa Digunakan Bertempur di Planet Mars

Hukuman dera dengan cambuk rotan atau cambuk bergerigi adalah soal biasa yang dapat disaksikan penduduk hampir setiap hari.

Akan tetapi kalau ada seorang terhukum yang diharuskan duduk di atas kuda-kudaan dari kayu dengan pelananya diberi paku-paku, benar-benar sukar dibayangkan kengeriannya.

Hukuman mati dengan cara dipenggal lehernya atau digantung juga masih soal biasa. Namun ketika J.P. Coen menjadi Gubernur Jendral, jenazah si terhukum tadi masih dikenai hukuman pula.

Dr. R.A.M. Bergman yang melakukan penelitian khusus mengenai segala kegiatan Coen dalam soal-soal hukum (yang maksudnya akan diterbitkan tahun 1929 pada saat peringatan 300 tahun tewasnya Coen, tetapi ternyata baru terbit tahun 1932) mengatakan bahwa Coen sangat benci terhadap kejahatan yang menyangkut soal seks.

Baca juga:Kahiyang Ayu Melahirkan: Ini Kisaran Biaya Operasi Caesar di RSIA YPK Mandiri

Segala kejahatan di bidang seks, terutama homoseksual, diancam dengan hukuman mati, kemudian jenazah si terhukum dibakar dan abunya dibuang (" De homosexueelen worden gestraft met den dood, daarna verbrand en hun asch verstrooid ").

Di atas adalah beberapa contoh cara pelaksanaan hukuman oleh pihak Kompeni terhadap penduduk ataupun penghuni Batavia lainnya.

Bila kita mengunjungi Museum Fatahillah di Jakarta sekarang, maka menyaksikan penjara-penjara di bawah tanah yang ada dalam museum itu masih dapat kita rasakan sedikit kengerian tadi.

Dan sekarang bagaimana kalau Raja Mataram menjatuhkan hukuman terhadap musuhnya?

Baca juga:Hidup Ala La Sape, Rela Tak Makan dan Berutang Demi Pakai Baju Merek Ternama

Ditikam sendiri

Seorang Raja menjatuhkan pidana mati terhadap penjahat atau musuh kerajaan lainnya adalah soal biasa. Begitulah paling sedikit yang kita dengar atau baca dalam ceritera. Raja-raja Mataram pun melakukan hal yang sama.

Kadang-kadang ia menikam sendiri musuhnya dengan sebilah keris seperti yang dilakukan Sunan Amangkurat II terhadap Trunojoyo.

Akan tetapi lebih sering sang Raja mengutus salah seorang punggawanya melaksanakan eksekusi itu. Sebagai bukti bahwa eksekusi telah dilaksanakan, punggawa tadi biasanya akan membawa kepala si korban ke hadapan Raja.

Anehnya, seringkali seorang terhukum yang menerima putusan Raja yang dibawa punggawa tadi sama sekali tidak menolak atau memberontak, meskipun ia seorang Bupati atau Pejabat Tinggi lainnya.

la akan pasrah dan rela ditikam untuk kemudian dipenggal kepalanya, seolah-olah memang telah menjadi suratan nasibnya menjalani hukuman itu.

Kitapun yang sering mendengar atau membaca dongeng-dongeng sedemikian itu jadi terbiasa pula, meskipun tuduhan yang ditimpakan oleh Raja hanya soal sepele saja. Hati kita baru "tergugah" bila cara melaksanakan eksekusi itu begitu kejam menurut pandangan sekarang.

Misalnya saja, nasib yang dialami seorang pegawai VOC bernama Antonio Paulo. la ditawan di Jepara tahun 1631 bersama dengan 24 orang temannya.

Pada tahun 1634 ia dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung dengan jalan melemparkannya ke dalam kandang buaya. Ketika tahun 1646 dilakukan pertukaran tawanan antara VOC-Mataram, ternyata ke 24 orang rekan Antonio Paulo tidak ada lagi.

Kemungkinan besar mereka juga menjadi umpan hewan-hewan ganas tadi.

(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi November 1976)

Baca juga:Murah, 'Bandel', Namun Tetap Mematikan, Saab JAS-39 Gripen Ibarat 'AK-47 Versi Jet Tempur'

Artikel Terkait