Intisari-online.com—Banyak kasus terjadi, pasien dan dokter sering terjebak dalam komunikasi satu arah. Pasien hanya diam saja atau tidak aktif bertanya kepada dokter tentang penyakit dan obatnya. Akibatnya banyak terjadi kesalahpahaman.
(Ingin Beli Smartphone yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)
Soal efek samping obat, misalnya. Fakta berbicara semua obat pasti punya efek samping. Namun tidak semua efek samping itu diketahui oleh pasien. Penyebab utamanya adalah kurangnya komunikasi dua arah.
Ditambah lagi, karena keterbatasan waktu, dokter sering lupa menjelaskannya. Padahal pasien dan keluarganya berhak untuk mengetahui semua penanganan si dokter dengan detail.
(Pelayanan Rumah Sakit Buruk, Pasien ICU Dikerumuni Semut)
“Dalam pendidikan kedokteran, kami juga diajari bagaimana membangun komunikasi dengan pasien. Kalau dokter itu punya pribadi yang baik, dia akan mengejawantahkannya dengan baik. Kalau ia tidak baik, ya itu soal oknum, tidak bisa digeneralisasikan,” terang Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG (K), Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PBIDI).
Marsis mencontohkan, misal penggunaan antibiotik dan obat keras. Dokter wajib memberikan penjelasan efek samping obat yang mungkin saja terjadi pada pasien. Misalnya, alergi atau penurunan kesadaran. Sehingga apabila hal itu terjadi, pasien juga bisa langsung sigap.
(Biaya Obat Mahal, Banyak Pasien Kanker Tunda Perawatan dan Hampir Menyerah)
Oleh karena itu, penting sekali untuk bertanya pada dokter. Silakan bertanya dengan sopan kepada dokter. Dokter yang baik pasti akan menjawab. Kecuali, pasien bertanya dengan tidak sopan bahkan cenderung tahu segalanya. Karena kadang ada pasien yang lebih percaya analisisnya sendiri ketimbang analisis dokter.
Jangan takut bertanya
Mulio (35) pernah mengalami hal pengalaman buruk dengan pelayanan kesehatan. Saat membawa putrinya ke rumah sakit akibat demam tinggi yang tak kunjung reda, anaknya disarankan untuk rawat inap. Tentu sebagai orangtua, Mulio khawatir. Jadilah putri sulungnya itu, Anya, terdaftar sebagai pasien rawat inap.
Esoknya, sebenarnya kondisi Anya sudah membaik. Wajahnya juga segar tanda sehat. Namun, saat Mulio menanyakan apakah ia sudah boleh pulang, pihak rumah sakit menolak. Karena takut terjadi sesuatu, Mulio mengiyakan saja. Padahal si anak sudah pulih. Namun mereka harus tinggal selama empat hari di rumah sakit tersebut.
Tapi tetap saja, menurut Marsis, hal tersebut tidak dibenarkan. Itu artinya penyimpangan Standar Operasional Prosedur (SOP). Sebab pasien dirawatinapkan tentu ada prosedurnya. Tidak sembarangan. Kalau penyimpangan prosedur terjadi, apalagi merugikan pasien, bisa dikenakan sanksi pelanggaran disiplin. “Kalau ada kasus begitu, laporkan saja pada Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia (MKKD). Jika terbukti, akan disidang,” katanya.
Rumah sakit mesti terbuka dan transparan. Jangan demi kepentingan sendiri, malah merugikan pasien. Sanksi pelanggaran disiplin penyimpangan SOP tadi berlaku untuk semua pelayanan kesehatan.
Jika dokter terlibat, ia akan berurusan langsung dengan Konsil Kedokteran Indonesia. Kalau ada pelanggaran etika kedokteran, sanksi akan diberikan oleh IDI. Dan jika rumah sakit terbukti melakukan pelanggaran, hukum pidana dan perdata berlaku di situ.
(Ibu Ini Diminta Membayar 500 Ribu Rupiah oleh Rumah Sakit setelah Memeluk Anaknya Sendiri)