Intisari-Online.com -Sorotan tajam terhadap kebijakan ekonomi Indonesia dilancarkan oleh ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri. Menurutnya, selama dua tahun pemerintah Jokowi-JK ini, kebijakan ekonomi Indonesia dijalankan secara ugal-ugalan.
“Growth turun, tapi (target penerimaan) pajak dinaikkan luar biasa,” kata Faisal dalam diskusi bertajuk Indonesia's Economic Outlook 2017, di Jakarta, Selasa (7/3) malam, dilaporkan Kompas.com.
Laki-laki kelahiran Bandung November 1959 itu juga mengatakan bahwa pada 2015 pemerintah mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp1.489 triliun atau 29,8 persen dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.147 triliun.
(Indonesia Bisa Jadi Negara dengan Ekonomi Terbesar Keempat di Dunia pada 2050, Ini Syaratnya)
Target yang hampir mencapai 30 persen itu, menurut Faisal, mustahil direalisasikan mengingat perekonomian masih melambat.
Perlu diketahui, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 hanya 5,02 persen, melambat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 5,58 persen. Bahkan kalaupun dilakukan usaha ekstra, Faisal memperkirakan penerimaan pajak hanya tumbuh sekitar 11 persen.
Tahun 2016 ini pemerintah kembali mematok target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp1.539 triliun atau 24,11 persen dari realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.240 triliun.
Target pertumbuhan 24,11 persen ini cukup ambisius melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 kembali melambat hanya mencapai 4,79 persen dan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah sejak 2009.
“Keugal-ugalan” yang diulang ini pun menyebabkan realisasi penerimaan pajak 2016 hanya mencapai Rp1.284 triliun. Itu pun, kata Faisal, sudah memasukkan penerimaan dari pengampunan pajak yang sebesar Rp103,3 triliun.
“Jadi kalau tanpa tax amnesty, penerimaan pajak 2016 hanya Rp 1.180,7 triliun, turun 4,78 persen dibandingkan realisasi 2015,” kata Faisal.
Tahun 2017, tax amnesty sudah berakhir. Pemerintah pun mencoba mengoreksi target penerimaan pajak dalam APBN 2017. “Seolah-olah konservatif, penerimaan dan belanja sama-sama turun. Tetapi ternyata, masih agak ugal-ugalan,” kata Faisal.
Hal itu ia lihat dari sisi belanja yang tidak mempertimbangkan kemampuan anggaran. Misalnya, untuk proyek kereta cepat ringan atau light rapid transit (LRT), perusahaan pelat merah disuruh membangun terlebih dahulu baru memikirkan pendanaanya kemudian.
Dia pun menyarankan agar PT Kereta Api Indonesia, yang menjadi salah satu konsorsium, tidak terlalu berharap pada Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 4 triliun, sebab sejauh ini belum dianggarkan dalam APBN 2017.
Entah akan dianggarkan dalam APBN Perubahan atau tidak. Memang kata Faisal, utang Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia relatif rendah.
Akan tetapi, jika waktunya mepet, maka pasar akan memberikan bunga tinggi dan bisa-bisa bunga utangnya lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yang dibutuhkan. “Lama-lama saya rasa Bu Sri Mulyani pening kepalanya. Karena rumusnya pak Jokowi, ‘pokoknya’,” kata Faisal.