Intisari-Online.com - Bukan hal baru kalau jargon antikorupsi selalu menjadi isu terdepan jelang pemilihan umum (pemilu). Partai poltik seakan berlomba menyampaikan pesan sebagai musuh praktik haram tersebut.
Tak heran bila jargon antikorupsi menggema, pakta integritas menolak praktik korupsi pun ditandatangani, bahkan hal terbaru, dukungan terhadap larangan eks narapidana kasus korupsi jadi calon anggota legislatif pun mengalir.
Akan tetapi, kenyataan tak seindah slogan yang diucapkan. Korupsi tak kunjung hilang, bahkan seakan melekat kuat. Buktinya, begitu banyak kader parpol tak henti-henti dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mulai dari anggota DPRD, kepala daerah, hingga anggota DPR, bahkan ketua DPR sekalipun banyak yang kini mendekam di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan KPK.
Baca juga: 7 Rahasia Bugar Vladimir Putin, Salah Satunya Bangun Siang dan Sarapan di Tengah hari
Kini, larangan eks napi korupsi untuk jadi caleg pun ditabrak. Parpol masih saja mendaftarkan caleg eks napi kasus korupsi dengan dalih menunggu uji materi di Mahkamah Agung (MA) atas aturan tersebut.
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, sensitivitas parpol atas kehendak publik sudah lama tumpul.
Padahal kehendak publik sederhana. Parpol diharapkan dapat menyodorkan calon wakil rakyat yang berintegritas, bukan yang punya catatan beringas mengorupsi duit rakyat.
Buruknya rekrutmen dan kaderisasi dinilai menjadi sebab utama sulitnya parpol menyodorkan nama caleg yang punya integritas.
Baca juga: Sudah Bayar Pajak Rp161 Miliar Masih Dimintai Lagi Rp301 Miliar, Pantas Ronaldo Pindah ke Italia
Publik mencari
Bila parpol seakan kesulitan mencari caleg berintegritas, maka publik kesulitan juga mencari parpol yang punya komitmen antikorupsi.
Kepercayaan publik kepada parpol sangat rendah. Hal itu terkonformasi dari berbagai survei kepercayaan publik yang menempatkan parpol di posisi terbawah.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR