Konflik piton dan manusia sudah sering terjadi di Sulewasi. Untuk mengantisipasi peristiwa tersebut terulang, Amir menghimbau masyarakat untuk mengajak anjing saat pergi ke kebun.
“Lokasi kebun milik perempuan tersebut dekat dengan hutan dan saat itu sudah malam sehingga korban tidak mengetahui keberadaan ular. Anjing akan membantu apabila ada ancaman dari hewan liar di sekitar manusia,” kata Amir.
Selain itu, masyarakat juga harus memahami bahwa piton di wilayah Sulawesi merupakan predator tertinggi dalam rantai makanan.
Sangat penting bagi masyarakat untuk turut menjaga kelestarian alam hutan agar ular tidak mencari mangsa lainnya.
"Ular piton berukuran besar biasanya memangsa babi hutan dan mamalia-mamalia besar lainnya. Piton juga mengendalikan populasi babi hutan agar tidak meresahkan masyarakat. Untuk itu, perburuan liar babi hutan akan menganggu rantai makanan dan memaksa ular mencari mangsa yang lain," terangnya.
Menurut Amir, piton merupakan jenis ular yang memiliki kemampuan adaptasi mumpuni.
"Selain berukuran panjang dan besar, kemampuan adaptasi ular ini sangat baik. Ular ini bisa bertahan hidup di tengah perkotaan dan memangsa hewan-hewan kecil seperti tikus atau ayam," katanya.
"Biasanya ular hanya bisa diam untuk mencerna makananya dan butuh waktu sekitar 1 sampai 2 minggu, tergantung besar kecil mangsanya. Asam lambung di perut ular, kadar asamnya sangat kuat untuk mengurai makanan," katanya.
Sementara itu, jumlah populasi ular sanca batik di Indonesia masih terjaga, namun ada tiga jenis lainnya yang terancam punah.
“Ada tiga jenis piton yang statusnya hewan dilindungi, yaitu Python morulus atau Sanca Bodo yang ada di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat, Condropyhton viridis atau sanca Hijau yang ada di Papua dan Pyhton timorensis atau Sanca Timur yang ada di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor,” paparnya. (Iwan Satriawan)
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Piton Raksasa Berukuran 8 Meter Kejutkan Pemancing, Begini Nasib Sang Ular.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR