Kisah Nenek Bodo' yang Hidup di Hutan dengan Dua Anak Terpasung

Hery Prasetyo

Editor

Rumah nenek Bodo' Pole di hutan.
Rumah nenek Bodo' Pole di hutan.

Intisari-Online.com - Usia Bodo' Pole sudah 80 tahun. Tapi, nenek Bodo' ini harus hidup dengan dua anak terpasung di hutan di Mamasa, Sulawesi Barat.

Empat anaknya menderita gangguan jiwa. Tara (27) dan adiknya, Limbong (20), sudah hampir lima tahun terakhir dipasung keluarganya secara terpisah di Desa Paladan, Kecamatan Sesena Padang, Mamasa.

Dua anaknya yang lain yang juga menderita gejala gangguan jiwa kini hidup terpisah dan tinggal di keluarga lainnya.

Dari pantauan, Minggu (22/1/2017), Tara dipasung di rumahnya. Adiknya, Limbong, dipasung terpisah di sebuh gubuk mirrp kandang kambing berukuran 1,3 x 0,80 meter persegi di samping rumahnya.

Kedua korban bersaudara ini tercatat tamat SD sejak beberapa tahun lalu namun tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena alasan keluarga yang tak mampu membiayai.

Keluarga mengaku terpaksa memasung Tara dan Limbong karena keduanya dinilai kerap mengamuk dan mengancam keselamatan orang lain, lalu bepergian jauh hingga menghilang dari rumah.

Belum diketahui pasti penyebab bahwa empat anggota keluarga ini mengalami gangguan jiwa.

Jualan rumput kering

Bodo’ Pole, sang ibu yang sudah berusia 80 tahun berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan berjualan rerumputan yang dikenal warga Mamasa dengan nama Seong. Rumput kering ini dijual dengan harga bervariasi hingga Rp 5.000 per kilogramnya. Selain itu, nenek Bodo juga menjual sayur mayur milik petani pada saat hari pasar.

Di rumah peninggalan suami Bodo’ ini tak ada fasilitas istimewa. Hanya ada sejumlah piring, periuk dan panci tua berserakan di lantai rumahnya. Di tempat inilah Bodo’ hidup bersama putrinya Tara (27) yang dipasung. Bodo’ mengaku sedih dengan kondisi hidupnya.

“Saya cuma jualan rumput kering, biasa juga jualan sayur milik petani saat hari pasar. Tapi saya sudah tua dan tidak mampu lagi bekerja keras, tapi apa boleh buat tak ada yang bisa diharapkan,” ujar Bodo.

Bodo’ yang hanya fasih berbahasa Mamasa mengaku kerap mengutang ke sanak tetangga kampung di desanya jika persediaan beras di rumahnya tak ada lagi yang bisa dimasak unutk keluarganya.

Bodo’ mengaku kerap sakit-sakitan dan lututnya nyeri karena faktor usia, namun karena tak ada tulang punggung keluarga Bodo’ tetap terpaksa bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Tak tersentuh bantuan

Meski sudah puluhan tahun bermukim di hutan Mamasa, keluarga Bodo’ tidak memiliki dokumen kependudukan yang sah. Mereka mengaku tidak bisa mengurus dokumen kependudukan karena kondisi kesehatan anggota keluarga masing-masing.

Keluarga dekat Bodo’ yang juga Kepala Desa Paladan, Marten, mengaku sudah menyampaikan kondisi kehidupan keluarga Bodo’ kepada aparat pemerintah daerah setempat namun hingga kini, tak ada perhatian.

Jangankan memberi bantuan sosial dan perawatan kepada keluarga Bodo', menurut Marten, petugas dinas sosial atau dinas kesehatan setempat tak pernah datang menjenguk.

“Saya sudah adukan kasus ini ke berbagai intansi pemerintah terkait, tetapi responsnya hingga kini belum ada. Padahal mereka sangat butuh uluran tangan pemerintah,” ujar Marten. (Kompas.com)