Kala itu Sultan Hamengkubuwono I belum mempunyai keraton yang layak dijadikan istana sekaligus pusat pemerintahan. Sambil menunggu selesai dibangunnya Keraton Ngayogyakarta di wilayah Desa Pacetokan, tepi hutan Pabringan atau Kota Yogyakarta sekarang, Sultan HB I mendirikan sebuah pesanggrahan (keraton sementara) di Desa Tlogo yang kemudian diberi nama Pasanggrahan Ambarketawang.
Pesanggrahan itu resmi ditempati Sri Sultan HB I pada tanggal 9 Oktober 1755.
Sebagai seorang panglima perang yang ulung, Sultan HB I tentu memilih tempat kediaman yang diperkirakan aman dari serangan musuh. Dari sisi ini, pemilihan Desa Tlogo yang berada di dekat pegunungan kapur sangatlah tepat.
Baca juga: Pangeran William Sudah Langgar Tradisi Sejak Lahir, Tapi Tetap Saja Jadi yang Terpopuler
Pegunungan kapur yang terletak di sebelah timur Pesanggrahan Ambarketawang memiliki beberapa puncak yang amat tinggi, sehingga bisa berfungsi sebagai benteng pertahanan dan tempat pengintaian.
Dari tempat tersebut diberikan tanda bahaya apabila ada musuh datang menyerbu dari arah timur. Karena letak pusat kediaman Sultan HB I dengan pos-pos penjagan relatif jauh, maka digunakanlah tanda bahaya tradisional ke udara, berupa suara raungan (semacam sirine).
Konon di pegunungan kapur yang membujur dari timur ke arah barat laut itu terdapat semacam gua yang membujur dari barat ke timur juga. Gua buatan ini mirip dengan lubang perlindungan, besar kemungkinan di masa itu dipergunakan sebagai benteng pertahanan.
Pintu gua yang sebelah barat mempunyai hubungan langsung dengn Pesanggrahan Ambarketawang.
Baca juga: 5 Tradisi Pernikahan Aneh di Afrika, Salah Satunya Pengantin Didampingi di Malam Pertamanya
Lahirnya upacara saparan
Setelah menempati Keraton Ambarketawang selama satu tahun, pada 7 Oktober 1756 Sultan HB I pindah ke Keraton Ngayogyakarta yang sudah selesai dibangun, sekaligus meninggalkan Pasanggrahan Ambarketawang.
Kabarnya abdi dalem penongsong (petugas yang pembawa payung) Sri Sultan HB I yang bernama Ki Wirosuto beserta keluarga tidak ikut pindah dan tetap tinggal di pegunungan kapur tersebut.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR