Mencoba melarikan diri
Akhirnya, kedua polisi itu menceritakan terus-terang siapa mereka sebenarnya dan apa yang sedang mereka lakukan Untuk meyakinkan, mereka memperlihatkan identitas dan surat penangkapan yang mereka bawa.
"Minggu lalu Pak Sugondo ditodong oleh seorangjoki bernama Wisnu. Melihat berbagai kemiripan, saya rasa pelakunya putra Ibu sendiri," kata Santlo mantap.
"Tapi mana mungkin? Anak saya tak pernah macam-macam selama ini. Dia bukan penjahat. Saya tak yakin," kata ibu ini seakan-akan tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Tapi kami harap Ibu tenang. Kami akan berusaha membawa Bimo ke kantor polisi untuk diinterogasi," lanjut Subandi.
"Jangan, Pak. Saya mohon, jangan. Dia anak saya satu-satunya. Jangan sakiti dia."
"Kami berjanji akan memperlakukannya dengan baik dan takkan menyakiti dia. Kalau diperlukan kami akan memanggil Ibu. Jadi, mohon Ibu tenang-tenang saja. Baiklah, Bu. Terima kasih atas bantuan Ibu. Kalau ada perlu, silakan menghubungi kami di kantor polisi," kata Subandi seraya meninggalkan telepon kantornya di secarik kertas.
Kedua polisi ini segera meluncur ke tempat mereka menurunkan Bimo alias Wisnu. Untung Chandra ada di situ.
"Mana Bimo?" tanya Santo.
"Sedang mengantar seorang langganannya. Tunggu saja, Pak. Sebentar lagi juga dia kembali."
Selang seperempat jam kemudian Bimo kembali. Melihat Santo dan Subandi ada di situ, ia sempat curiga dan berusaha melarikan diri. Namun kerburu tertangkap oleh kedua polisi itu.
"Lepaskan aku!" katanya sambil berusaha meronta dari cengkeraman tangan Santo.
"Pak, Bapak apakan Bimo?" tanya Chandra bingung. “Dia 'kan tidak bersalah apa-apa. Mengapa Bapak tangkap dia? Lepaskan dia, atau saya laporkan Bapak pada polisi," bela Chandra.
Terkuaknya rahasia lama
Setelah berhasil menenangkan kedua pemuda tanggung itu, kedua polisi tersebut membuka rahasia siapa diri mereka sebenarnya. Karena itu mereka meminta Bimo dan Chandra ikut ke kantor polisi. Di kantor polisi Kapten Setyohadi menyambut kedatangan mereka. Setelah mendengarkan secara singkat hasil penyelidikan kedua anak buahnya, dengan ramah sang kapten menanyai Bimo.
"Apakah kamu yang bernama Wisnu alias Bimo?"
"Benar, Pak," jawabnya singkat.
"Apakah kamu tahu mengapa kamu dibawa ke sini?'
"Tidak. Saya tidak pernah berurusan dengan polisi."
"Memang benar, kamu selama ini tidak pernah berurusan dengan polisi," sambung Setyohadi.
"Tapi benarkah kamu pernah melakukan kejahatan minggu lalu dengan menodong Pak Sugondo ketika kamu menjadi joki?"
"Ya," katanya perlahan.
"Mengapa kamu lakukan hal itu, padahal selama ini Pak Sugondo memperlakukanmu dengan baik?"
"Baik? Baik bagaimana yang Bapak maksudkan? Justru selama ini saya dendam kepadanya," kata Bimo terus terang tanpa menutupi rasa benci terhadap orang bernama Sugondo itu.
Sementara itu Santo diminta atasannya untuk menghubungi Pak Sugondo dan memintanya segera datang ke kantor polisi. Dengan didampingi Ahmad, sang sopir, 20 menit kemudian Sugondo tiba di kantor polisi.
Keduanya lalu dipertemukan dengan Bimo alias Wisnu. Sugondo membenarkan anak itulah yang melakukan penodongan. Kapten Setyohadi melanjutkan pertanyaannya kepada Bimo.
"Tadi kamu mengatakan dendam kepada Pak Sugondo. Bisa kamu ceritakan apa yang pernah dilakukan oleh Pak Sugondo sehingga kami menaruh benci kepadanya?"
"Tanya saja pada dia sendiri," jawab Bimo ketus.
"Apakah Bapak bisa menceritakan apa yang pernah Bapak lakukan terhadap anak ini?" tanya Setyohadi.
"Saya tidak tahu. Rasanya saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadapnya. Selama ini saya selalu memperlakukannya dengan baik. Sebenarnya, saya sayang kepada anak itu, tetapi saya tidak mengerti mengapa pada hari itu ia tiba-tiba berubah menjadi demikian," kata Sugondo.
"Kau memang tidak pernah melakukan kesalahan secara langsung padaku. Tapi apa yang pernah kau perbuat terhadap ibuku? Kau meninggalkanku selagi aku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Sementara ibu membanting tulang untuk menghidupiku, kau enak-enakan tinggal di rumah mewah bersama istri yang lain dan anak-anakmu!” kata Bimo setengah berteriak karena geram.
"Maksudmu kau ini siapa?!" tanya Sugondo agar kaget dan bingung.
"Kau pasti tidak mengenali lagi anakmu sendiri, tapi kau tak mungkin lupa 'kan pada seorang wanita sederhana yang pernah kau nikahi lalu kau tinggalkan setelah memiliki seorang anak. Wanita itu adalah ibuku, namanya Ratna."
Dikirim ke Tangerang
Mendengar nama itu, Sugondo tampak terguncang. Sesaat setelah bisa mengendalikan perasaannya ia bertanya, "Jadi, kau Wisnu Bimo, anakku?" tanya Sugondo tak percaya.
"'Ya, benar, dia memang anakmu," terdengar suara seorang wanita di ruangan itu. Ternyata itu suara Ratna, orang yang sangat dicintai Bimo. Rupanya, karena khawatir akan keselamatan anaknya, Ratna menyusul ke kantor polisi.
"Maafkan saya, Bu. Saya menyusahkan Ibu. Sebenarnya saya hanya ingin memberi pelajaran terhadap orang ini, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu. Ternyata bagi dia kehilangan uang sebesar itu saja sudah membuatnya menderita. Tapi apa artinya jika dibandingkan dengan Ibu yang kehilangan seorang suami dan saya yang kehilangan kasih sayang seorang ayah?" kata Bimo.
Baca juga: #CeritaKriminal: Racun Favorit Suster Jane yang Telah Membunuh 50 Orang Tak Bersalah
"Maafkan aku, Ratna. Aku selama ini telah menelantarkan kalian. Maafkan ayahmu, Bimo. Aku memang bukan suami dan ayah yang baik. Namun kejadian hari ini sudah membuka mataku, betapa kerdilnya tingkah lakuku," kata Sugondo lirih.
Ternyata secara tak disengaja Bimo menemukan foto Sugondo yang disimpan oleh ibunya. Dia tahu dari mulut ibunya ia tidak bisa mengharapkan cerita lengkap perihal sang ayah yang menghilang entah ke mana. Anak ini memang keras hati. Dengan bersusah payah ia mencoba menghubungi saudara dari pihak ibunya, yang diduga tahu mengenai hubungan ibunya dengan ayahnya di masa lalu.
Ketika ia hampir putus harapan, seorang pamannya yang sejak awal ternyata memang tidak merestui hubungan Ratna dengan Sugondo, mau buka mulut. Dari pamannya inilah ia memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai lelaki yang menjadi ayahnya itu.
Menurut pamannya, suatu kali ia sempat melihat Sugondo di depan kantornya. Keterangan inilah rupanya yang dimanfaatkan oleh Wisnu untuk mengintai keberadaan ayahnya. Ketika pertama kali bertemu dengan Sugondo, hati anak muda ini berkecamuk. Tapi mengingat berbagai penderitaan hidup yang ia jalani bersama ibunya, akhirnya rasa bencinya mengalahkan rasa rindunya.
"Keinginanmu hari ini sudah terlaksana bertemu dengan ayahmu meskipun keadaannya sangat tidak mengenakkan. Mari kita ambil hikmah dari kejadian in," kata Ratna sambil memeluk anak tunggalnya. "Hilangkan dendam di hatimu, Nak, karena itu akan membuat hatimu lega," sambung Ratna dengan bijak.
Dalam persidangan, akhirnya hakim memutuskan mengirim Bimo ke penjara anak-anak di Tangerang selama setahun. Selain masih di bawah umur, hakim menilai Bimo masih bisa diperbaiki. Uang Rp 20 juta yang dirampas Bimo diberikan Sugondo kepada Ratna untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR