Karena beratnya hampir sama dengan muatan sebuah truk, untuk mengangkatnya dibutuhkan banyak tenaga manusia.
Baca juga: Latihan Tembak Meriam di Natuna, 4 Anggota TNI Tewas dan 8 Orang Terluka
Untung muncul ide cemerlang dari seorang karyawan museum, bernama Naiman. Dengan cara menaruh Si Jagur di atas beberapa batang kayu yang berbentuk alu yang biasa digunakan untuk menumbuk padi, sehingga sang meriam sundut berhasil digeser setahap demi setahap.
Setelah beberapa langkah, batang kayu yang tertinggal kemudian diambil dan ditaruh pada deretan paling depan. Begitu seterusnya, sehingga tanpa bantuan banyak tenaga, Si Jagur dipindahkan ke dalam salah satu ruang di bagian belakang.
Pada masa pemerintahan Gubernur AH Sadikin (1966 - 1977), Si Jagur diminta pindah lagi ke halaman taman Museum Sejarah Jakarta. Namun karena lokasinya berada di dekat tempat berjualan para pedagang kaki lima, Si Jagur yang sudah "menghamili" banyak wanita itu, malah dijadikan tempat menjembreng (menjemur) pakaian.
Padahal, mestinya Si Jagur dijadikan ikon yang menjadi daya tarik museum. Karena setiap pengunjung, baik dari dalam maupun luar negeri, selalu menyempatkan diri melongok Si Jagur.
Nah, setelah mengalami perlakuan yang tidak menyadari arti sebuah peninggalan sejarah, pada bulan November 2004, Si Jagur dipindahkan lagi ke lokasi yang terletak di halaman depan museum.
Baca juga: Belasan Peluru Meriam Berusia 150 Tahun Ditemukan Pascabadai Matthew
Tempat itu merupakan tempat terakhir di mana ia kini bercokol. Selain letaknya lebih menonjol, sejak itu tidak ada lagi yang memperlakukannya sebagai tempat menjembreng pakaian.
Adapun yang memperlakukannya sebagai benda keramat, masih tetap ada, meski tak sekerap dulu. Misalnya masih ada saja ada orang yang sengaja meletakkan sesajen berupa bunga. Si Jagur yang di "usia muda" pernah sangat perkasa, kini mulai berkurang kharismanya sebagai lambang kesuburan.
Kepalan tangan yang berbentuk simbol sanggama memang masih ada, tetapi ibarat manusia, Si Jagur kini sudah tua, loyo, sehingga keperkasaannya diragukan.
Mungkin juga karena "saingannya" kini bejibun. Sekarang sudah banyak seksolog, androlog, dan sejenisnya yang siap memberikan jalan keluar. Zaman memang sudah berubah ya, Gur!
(Ditulis oleh Her Suganda. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2009)
Baca juga: Hanoi-Beijing Memanas, Kapal Kedua Negara Tembak-menembak Meriam Air
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR