Advertorial

Tak Bisa Orgasme, Wanita Ini Dapat Ganti Rugi Rp40 Miliar, Kok Bisa?

Khena Saptawaty
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com - Mana yang akan Anda pilih: tidak punya uang Rp40 miliar tapi bisa merasakan hubungan seks yang normal.

Atau, punya uang Rp40 miliar tapi tidak bisa merasakan kenikmatan anugerah dari Sang Pencipta tersebut?

Mari kita simak cerita Ginny Atchinson (45 tahun) dari Norwich, Inggris.

Ibu dua anak itu bercerita, dirinya terbiasa menikmati hubungan seksual secara teratur sejak usia 16 tahun.

Baca juga:Lagi Asyik Mudik Eh Ditelepon Polisi 'Mas Bapaknya Ketinggalan di Rest Area'

Saat itu ia pikir bisa merasakan kenikmatkan berhubungan seksual tidaklah terlalu penting.

Namun, pikiran itu berubah drastis ketika ia berusia 41 tahun sekarang ini.

Awal kepedihan hatinya terjadi pada 2008, ketika ia merasa sakit pada punggung bagian bawah, tetapi ia mengira ada otot yang tertarik.

Setelah dua tahun berlalu, rasa sakitnya menjadi semakin parah.

Baca juga:Kapal Tenggelam di Danau Toba, Begini Cara Mudah Mengambang di Atas Air Seperti Daun

Ia juga merasa ada sensasi seperti tersengat listrik pada kedua kakinya.

Pada 2010 iapun mengunjungi dokter di Rumah Sakit Norfolk dan Norwich University.

Wanita itu dirujuk ke klinik penanggulangan penyakit untuk pasien yang diduga mengalami pergeseran sendi di punggungnya.

Namun, berbulan-bulan kemudian rasa sakit itu semakin memburuk, sehingga Ginny dirujuk oleh dokternya untuk menjalani fisioterapi pada Desember 2010.

Baca juga:Membohongi Dunia, 8 Propaganda Korea Utara Ini Diketahui Hasil Photoshop

Pada terapisnya, wanita itu juga mengeluh bahwa ia kesulitan untuk pipis.

“Aku mencoba kerja penuh waktu sebagai asisten manajer di sebuah toko kosmetik, tetapi karena sakit ini membuat aku tidak bisa bekerja,” cerita Ginny Atchinson.

Oleh fisioterapisnya Ginny kemudian dirujuk ke dokter ortopedik di rumah sakit.

Hanya saja, saat itu ia sudah curiga menderita cauda equine syndrome.

Penyakit itu menyebabkan saraf-saraf di punggung bawah menjadi tertekan dan dapat menyebabkan kehilangan sensasi rasa, tarak, dan kelumpuhan bila tidak segera diobati.

Wanita itu seharusnya segera menjalani pindai MRI yang bisa merujuk pada diagnosanya.

“Aku akhirnya dirujuk untuk MRI pada Februari 20111, setelah aku memohon pada dokter. Aku tahu ada sesuatu yang salah karena aku begitu kesakitan,” kata Ginny lagi.

Hasil pindai MRI memperlihatkan ada pergeseran sendi yang menekan saraf punggung belakang Ginny.

Meskipun demikian, ia percaya bahwa ini adalah salah laporan karena ia tidak dikirim ke bagian bedah untuk dioperasi.

Hingga pada satu titik pengobatannya berubah pada Agustus 2011 ketika Ginny datang ke dokter setelah ia tidak bisa pipis selama lebih dari 24 jam.

Ia ingat saat itu sedang nonton televisi di ruang tunggu dan ia pikir ingin ke kamar mandi.

Ia duduk di toilet tetapi benar-benar tidak bisa, seberapa keras ia berusaha, pipisnya tidak keluar.

Dokter pun melakukan tes perasa, tetapi Ginny tidak bisa merasakan apapun.

Oleh dokter itu, Ginny diberi catatan dan dikirim kembali ke rumah sakit, dimana ia dikirim ke bangsal ortopedik.

Catatan itu menyebutkan kalau ia terkena cauda equine syndrome.

Saat di rumah sakit NNUH ia diminta duduk dan menunggu, tetapi kandung kemih dan perutnya terasa begitu penuh, sehingga keluar sendiri.

Di depan pasien lainnya Ginny pipis tidak terkontrol sebanyak seliter sehingga dipanggilkan perawat.

Saat itu dirinya begitu ketakutan, padahal ia adalah seorang wanita yang kuat.

Iapun menjalani MRI darurat dan ternyata saraf-saraf di punggung bawahnya rusak parah.

Ia dipastikan terkena cauda equina syndrome, yang membuatnya segera dioperasi.

Dokter memperingatkan dirinya kemungkinan tidak bisa berjalan lagi.

Jadi begitu ia tersadar usai operasi, dokter menyuruhnya menggerakan jari-jarinya, ternyata bisa.

“Itu mengagumkan karena aku tahu aku tetap bisa berjalan, tetapi sayangnya ada kerusakan yang lebih parah dari itu,” kata Ginny.

Ia bilang, ia tetap tidak bisa merasakan di daerah organ intimnya sejak operasi itu.

Ia berusaha segala cara dengan mendatangi psikolog dan pengobatan fisik, tetapi tidak ada yang berubah.

Pada akhirnya ia dihadapi kenyataan bahwa rasa untuk seksualnya tidak akan kembali lagi.

“Anda tidak pernah berpikir akan berhenti berhubungan seks di usia 40 tahun. Itu selalu penting untukku, walaupun aku kini lajang, aku benar-benar merindukan keintiman itu,” aku Ginny, seperti dilansir dari MailOnline, Kamis (21/6/2018).

Walaupun ia masih punya teman dekat, ia tidak bisa lagi berhubungan intim sejak itu.

Yap, Ginny telah berpisah dengan pasangannya yang telah 7 tahun, setelah didiagnosa penyakit itu.

Ia juga harus memakai kateter sepanjang waktu dan tidak bisa lagi berjalan jauh-jauh.

Ia mengaku menderita karena kehilangan sensasi orgasme adalah hal yang mengerikan.

“Hubunganku dengan pasangan berakhir. Kami masih bersahabat tetapi kami tidak bisa berhubungan intim dan bagian romantis dari hubungan merekapun berakhir,” kata Ginny.

Mendatangi fisioterapis wanita hingga membeli alat bantun seks pun tidak bisa mengembalikan rasa tersebut, karena ia tidak bisa merasakan apa-apa.

Bahkan ia sempat mengalami peningkatan berat badan yang begitu drastis, sehingga ia harus menjalani operasi gastric bypass untuk menormalkan berat badannya kembali.

Operasi itu didanai oleh National Health Service (NHS), sebuah lembaga nasional yang menangani masalah kesehatan di Inggris.

Kemudian ia mendapat dukungan dari Cauda Equina Syndrome Association, sebuah organisasi yang diketahuinya secara tidak sengaja.

Ia mengajukan tunjangan hidup kepada negara karena kondisinya membuat ia tidak bisa bekerja.

Saat di persidangan, hakim yang menanganinya mengatakan ada sebuah organisasi pendukung penyakit yang dideritanya.

Pasalnya, istri dari teman hakim tersebut juga menderita penyakit itu pula.

Pada akhirnya, Ginny bergabung dengan CESA dan di situlah ia memutuskan untuk membawa kasusnya ke pengadilan.

Ia menggugat Norfolk and Norwich University Hospital NHS Foundation Trust, Norfolk Community Health, dan Care NHS Trust.

Ia beranggap lembaga dan dokter di sana telat mendiagnosa penyakit dirinya, yang berakibat fatal bagi kehidupannya.

Setelah pertarungan panjang di pengadilan, akhirnya Ginny memenangkan kasus itu, pada bulan lalu.

Ia mendapat ganti rugi sebesar 1,5 juta poundsterling atau Rp40 miliar, setelah dokter gagal mendiagnosa penyakitnya.

Ia baru didiagnosa terkena CES setelah mengalaminya selama 12 bulan, sebelum akhirnya menjalani operasi darurat.

Keterlambatan pengobatan menyebabkan kerusakan permanen pada pahanya, membuat ia tidak bisa merasakan lagi kesenangan berhubungan intim dan merusak kehidupan seksualnya.

“Jumlah uang yang mengubah kehidupan. Uang itu tidak membawa kembali kehidupanku seharusnya, tetapi uang itu akan membuat lebih mudah,” aku Ginny.

Dengan uang itu, Ginny bisa membangun rumah dan memberinya lebih banyak kemandirian.

Putranya, Leo (20 tahun) juga bisa kuliah dan ia bisa menghidupi dirinya sendiri.

Kesimpulannya, uang ganti rugi itu membuat ekonominya jadi stabil untuk masa depan ibu dan anak tersebut.

Nah, apa sih cauda equine syndrome (CES) itu?

CES adalah suatu kondisi serius di mana saraf-saraf paling bawah pada urat saraf tulang belakang menjadi menciut.

Gejala penyakit ini adalah: sakit pada punggung, mati rasa pada paha, dan kelumpuhan pada satu atau kedua kaki.

Selain itu pula, terasa sakit pada dubur, kehilangan kontrol pada perut dan kandung kemih, dan rasa sakit pada paha bagian dalam.

Jadi, bila anda merasakan gejala-gejala tersebut, sebaiknya segera menemui dokter dan menjalani pindai MRI.

Baca juga:Bus Terbalik, 32 Orang Alami Luka Serius, Kepala Sang Supir Alami Luka Parah

Artikel Terkait