“Lalu saya coba dengan susu botol. Saya panaskan dulu di bawah selimut. Tapi susunya membeku juga. Rumah orang yang kami dekati tak dibuka. Padahal yang kami harapkan hanyalah memanaskan susu itu. Dan ketika ada kesempatan untuk mengencerkan susu itu, ternyata Gabi telah mati.
Berhari-hari lamanya saya menggendong tubuhnya yang telah dingin itu. Tapi akhirnya tak tertahan lagi. Saya bungkus lalu saya taruh di selokan yang penuh salju dalam-dalam, agar tak terlindas roda kereta nanti. Bukan saya saja berbuat demikian. Ribuan ibu lain....”
Tenggelam dalam air es
Sungai Oder merupakan batas keselamatan. Bila sudah berada di seberangnya, dianggap selamat. Ratusan kereta kuda dari berbagai macam dan bentuk penuh dengan pengungsi wanita, kanak-kanan dan orang sakit menuju sungai itu.
Sungai itu telah menjadi es. “Tapi tahankah es itu bila kereta kami melintasinya?” tanya seorang pengungsi wanita. Jawab seorang perwira, “Bisa, asal jarak antara kereta yang satu agak jauh dari yang berikut.”
Maka menyeberanglah konvoi itu. Mendadak datang pesawat terbang Rusia. Terbit panik. Kudanya pada kaget. Yang di depan mau mundur, yang di belakang mau maju. Kini es sungai itu tak tahan lagi. Ambruk dan tenggelamlah sekelompok kereta berikut penumpangnya.
Beberapa hari kemudian ketika tentara Merah mendekati sungai itu, lain lagi usaha para pengungsi itu. Kini sungai yang beku itu merupakan bahaya. Dicobanya menghancurkan es itu. Tapi begitu dikampak, begitu tumbuh, membeku lagi.
Kapal pengungsi
Kapal “Gustloff” yang berlabuh di Danzig akhir Januari siap untuk meninggalkan pelabuhan dengan 5.000 pengungsi. Suasana di pelabuhan penuh ketakutan dan korupsi. Karcis kapal dicatutkan secara mahal.
Hanya wanita boleh mengungsi dengan anak-anak kecil. Tapi mereka menyelundupkan suami dan putera mereka dalam kopor atau dalam pakaian wanita.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR