Advertorial
Intisari-online.com - Surabaya, ketika Indonesia belum genap dua bulan merdeka.
“Hai tentara Inggris! Kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe, menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe, kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari Djepang oentoek diserahkan kepadamoe.”
“Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada."
"Inilah djawaban kita: Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”
“Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.”
Itulah jawaban Bung Tomo melalui corong radio atas permintaan Inggris untuk melucuti senjata laskar-laskar Indonesia. Tak terdengar sedikit pun nada gentar dan ragu. Tegas dan lugas. Khas lelaki.
Dia tahu pasti bahwa melawan Inggris itu ibarat menaiki gunung pedang. Melawan negara pemenang Perang Dunia ke-II, negara yang tak terkalahkan sepanjang peradaban perang modern.
Tapi Bung Tomo juga tahu. Ada kalanya kaki tetap harus melangkah ke gunung pedang meskipun kematian sudah pasti menanti di sana.Karena itulah jalan hidup yang sudah digariskan langit bagi seseorang yang ingin tegak harga dirinya.
Dan pada 10 November 1945 pecahlah pertempuran yang tak terbayangkan oleh akal sehat.
Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, 15 tank Sherman, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari Divisi 5 dan 6.000 personel dari Brigade 49 The Fighting Cock.
Semua itu dilawan oleh para pejuang NKRI hanya dengan senapan kuno, keris, dan bambu runcing!
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong."
"Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Pada akhirnya para pejuang republik memang kalah. Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka.
Sedangkan menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, Kepala Kesehatan Jawa Timur, jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah 10.000 orang.
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga Surabaya. Sementara tentara Inggris hanya kehilangan 618 serdadunya.
Benarkah kita kalah? Secara hitungan nyawa, Indonesia memang kalah telak. Kerugian materialnya pun tak terkira.
Namun secara hakekat Merah Putih tidak kalah. Indonesia sama sekali tak pernah mengeluarkan bendera putihnya. Sang Saka tetap berkibar dihembus pengorbanan para syuhada dan martirnya.
Sekarang 72tahun perjuangan yang menguras darah dan air mata itu telah berlalu. Sang Saka Merah Putih masih berkibar gagah. Jika sekarang kita masih terpecah belah gara-gara politik, apa kita tidak malu dengan para syuhada telah mengorbankan jiwa dan raganya?
BACA JUGA:Inggit Ganarsih, Kartini Terlupakan Di Belakang Soekarno