Intisari-Online.com – Sepintas, kondisi keuangan pasutri yang sama-sama bekerja terlihat menjanjikan. Namun percayalah, jika soal keuangan ini tak dibicarakan sejak awal, di kemudian hari pasti muncul kerepotan-kerepotan.
Untuk itu, mulailah mengatur hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi sebenarnya penting. Saya punya sepasang sahabat - sebut saja Budyatna dan Anita, yang sama-sama karyawan di sebuah bank swasta, dan sejak masih pacaran sudah rajin mendiskusikan soal anggaran pendapatan dan belanja rumah tangga, jika kelak sah menjadi suami-istri. Hasilnya, terciptalah semacam kesepakatan yang dipakai hingga kini, saat anak mereka sudah dua.
Kesepakatan-kesepakatan itu misalnya, masing-masing "diizinkan" mempunyai 1½ rekening, yakni satu pribadi dan satu rekening bersama. Rekening bersama diisi setiap bulan, diambil dari gaji masing-masing. Besar uang yang disetor dan persentasenya sesuai hasil kesepakatan, dan bisa berubah-ubah mengikuti situasi dan kondisi.
Bagaimana aturan penggunaannya? Rekening pribadi digunakan untuk membayar tagihan-tagihan bersifat pribadi (belanja sandang, transportasi ke kantor masing-masing, kosmetik, ke salon, untuk membayar kartu kredit masing-masing, dan sejenisnya). Sedangkan rekening bersama dipakai untuk belanja sehari-hari (makan-minum) atau melunasi tagihan-tagihan yang "dinikmati bersama" seperti listrik, telepon, air, dan sejenisnya.
Uniknya, mereka juga menyepakati, pengeluaran untuk "menyenangkan orang lain" masuk pos rekening pribadi. Jadi, jika ada acara makan-makan bersama kawan-kawan lamanya sesama alumni SMA Negeri 78, Jakarta, Anita tak berhak memakai uang dari rekening bersama. Begitu juga halnya dengan acara kongko-kongko yang sering dilakoni Budyatna bersama mantan teman-teman kampusnya di FISIP Universitas Indonesia dulu.
Yang lucu, suatu ketika mereka jalan bersama, dan kebetulan bersua suami-istri yang masing-masing kawan lama mereka. Sebut saja pasutri Ana dan Andra. Ana kawan lama Anita, sedangkan Andra kawan lama Budyatna. Karena lama tak berjumpa, Anita dan Budyatna bermaksud mentraktir kawan lama mereka. "Siapa yang bayar?" bisik Budyatna seusai acara makan-makan di sebuah rumah makan bergaya Jepang. "Ya masing-masing, dong!" sergah Anita. He..he..he, orang lain yang mendengar acara bisik-bisik itu pasti berkomentar, "Enggak kompak nih ye....!"
Ketika buah hati pertama lahir, Budyatna dan Anita sepakat memperbesar porsi tabungan bersama. Sejak itu, terciptalah pos baru: biaya susu anak, belanja makanan bayi, pakaian anak, asuransi pendidikan anak, dan sejenisnya. Tambah buah hati satu lagi, porsi tabungan bersama pun diperbesar lagi. "Makin lama, jatah pribadi kami mengecil. Tapi itu 'kan konsekuensi hadirnya anggota keluarga tambahan," bilang Anita.
"Kelak, kalau mereka sudah kuliah dan punya penghasilan sendiri, pasti akan kami 'paksa' buka rekening pribadi, biar enggak ganggu rekening orangtuanya," tukas Budyatna tertawa, sambil memandangi anak lelakinya yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar.
Oh ya, kelupaan. selain rekening bersama di atas, pasangan Anita dan Budyatna masih punya satu rekening lagi yang mereka sebut sebagai "rekening masa depan". Dananya tetap disisihkan dari gaji bulanan mereka. Uang ini hanya akan dipergunakan untuk keperluan yang benar-benar, sangat, dan luar biasa darurat, semisal sakit berat (sehingga harus dioperasi), ada kerabat yang meninggal, dan sejenisnya.
"Dana itu jarang terpakai, makanya jumlahnya lumayan. Rencananya buat membuka usaha," ucap keduanya, yang mengaku sama-sama berasal dari keluarga sederhana. Nah, buat yang tak ingin membuat perjanjian finansial yang terlalu formal (Perjanjian Keuangan Pranikah misalnya), kesepakatan-kesepakatan seperti itu mungkin bisa jadi jalan keluar.
Serius, tapi santai. (Icul)