Intisari-Online.com - Sepakbola Indonesia boleh-boleh saja nirprestasi. Tapi bisnis merchandise-nya, terutama jersey atau kostum, bisa lain ceritanya. Inilah sebuah bisnis yang boleh dikata kagak ada matinye. “Selama orang masih mencintai sepakbola, selama itu pula bisnis kostum sepakbola akan tetap bertahan,” kata Dedy Nazaruddin, pemilik kios Solid Football, di Jakarta Selatan.
Memang, bagi pelaku bisnis jersey asli, ada sebuah kenyataan pahit. Bisnis kostum sepakbola masih dirajai oleh kostum-kostum KW atau tiruan. Maklum, harganya hanya berkisar Rp250-350 ribu, jauh di bawah kostum asli yang mencapai Rp600-800 ribu (ini ukuran tahun 2013). Soal kualitas juga ada yang beda-beda tipis. Seperti kostum KW buatan Thailand dengan kelas AAA yang tingkat kemiripannya hampir menyerupai kostum aslinya. Maka jangan heran kalau pasar kostum KW jauh lebih seksi ketimbang kostum orisinal.
Namun kenyataan ini tidak lantas membuat para pebisnis kostum asli hilang semangat. Sebab mereka melihat para penggemar tim sepakbola umumnya fanatik, bahkan militansinya tinggi. Walhasil, para penggemar ini hanya mau memakai kostum asli. Bahkan ada semacam keyakinan bahwa dengan membeli kostum asli, mereka telah menyumbang kepada tim kesayangannya.
Di sisi lain kostum KW ternyata juga punya masalah dengan kualitasnya yang tidak konsisten. Tentu saja ini membuat para penggemar fanatik yang mungkin sempat melirik barang KW, kembali ke selera asal, yakni jersey asli. Inilah antara lain yang membuat para pebisnis tetap optimis untuk menggelar dagangannya.
Dari loakan sampai luar negeri
Menjamurnya bisnis kostum sepakbola di Indonesia, menurut Dedy, berawal pada 2006-2007. Pemicunya adalah demam olahraga futsal yang berimbas terhadap penjualan kostum sepakbola. “Biasanya mereka yang bermain futsal memakai kostum bola,” kata Dedy. Bisa jadi prinsip mereka: main boleh kalah, tapi gaya harus mewah.
Kala itu permintaan pasar didominasi kostum KW. Namun Dedy melihat peluang kostum asli juga besar, hingga akhirnya ia mendirikan tokonya pada pada 2008. Selain menawarkan kostum asli yang sudah menjadi koleksi pribadi, Dedy juga mendatangkan kostum-kostum dari luar negeri. Kebanyakan dari Singapura dan Thailand. Namun kalau di dua negara itu tidak tersedia, terpaksa harus mendatangkan langsung dari negara asalnya. Ia juga menjalin kerja sama dengan produsen-produser kostum sepakbola resmi yang ada di Indonesia, seperti Adidas atau Nike.
Langkah-langkah Dedy memang bukan rumus pasti dalam berbisnis kostum sepakbola asli. Buktinya Mohammad Septo Riza yang memiliki kios serupa di bilangan Senayan, Jakarta Pusat, punya cerita berbeda. Septo mengaku justru sebisa mungkin menghindari stok dari luar negeri. Sebab dalam prinsip bisnisnya, keuntungan yang diperolah harus di atas 30% jika ingin terus bertahan.
“Kalau mengandalkan stok dari luar negeri, sulit mencari profit di atas 30%,” tutur Septo berterus terang. Untuk itu salah satu cara yang ditempuhnya adalah blusukan ke pasar-pasar loak untuk mencari kostum asli. Meski barang bekas, baginya tidak masalah. Yang paling penting: asli. “Percaya deh, yang asli pasti banyak yang nyari,” ujarnya mantap.
Yang jarang jadi peluang
Datangnya musim-musim panen penjualan juga menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang kostum asli. Momen yang bisa dipastikan menjadi musim panen adalah bergulirnya musim baru sepakbola di Eropa bergulir, yakni pada Agustus dan September. Permintaan kostum yang menderas, ikut berimbas kepada kostum asli.
Faktor lain yang juga mendongkrak bisnis adalah atmosfer euforia kemenangan. Jika sebuah kesebelasan baru saja menang atau menjadi juara, hampir pasti dalam beberapa bulan ke depan, kostumnya akan laris manis. Contohnya seperti ketika Spanyol menjuarai Piala Dunia 2010 atau Manchester United menjuarai Liga Champions 2007-08.
Kalau kita mau jeli, sebenarnya kostum-kostum yang tersedia di sport center besar di Indonesia kebanyakan berasal dari klub atau negara yang sudah dikenal dalam dunia sepakbola. Misalnya kostum klub dari Liga Italia, Liga Inggris, dan Liga Spanyol. Tim-tim nasional juga dari negara-negara yang selama ini tenar dalam kejuaraan dunia.
Bagi Dedy maupun Septo, kondisi itu menjadi sebuah peluang. Mereka menyediakan kostum-kostum dari negara yang kurang terdengar di Indonesia. Meski peminatnya tidak banyak, tapi mereka justru sangat fanatik. “Ada yang minta dicarikan kostum dari Liga Rusia, Liga Portugal, atau liga-liga di Afrika juga ada,” cerita Dedy tentang konsumennya.
Dari sekian banyak permintaan yang aneh-aneh, Dedy mengaku permintaan tersulit adalah kostum Liga Jepang. Selain tidak terlalu laris di pasaran umum, kostum tim-tim liga Negeri Matahari Terbit ini juga jarang dijual di luar negaranya. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak. Pilihannya paling membeli di Singapura atau langsung memesan ke Jepang melalui kenalannya yang ada di sana.
Septo juga melihat peluang yang sama. Maka jangan heran ada beberapa kostum tim tak terkenal nangkring di tokonya. Contohnya kostum timnas Kamerun di Piala Dunia 1994, kostum salah satu anggota Liga Utama Belgia, dan beberapa kostum Liga Thailand. Tentu saja untuk mendapatkannya, tidaklah mudah. Kegemarannya jalan-jalan ke Thailand, sedikit banyak telah membantunya memuluskan bisnis yang telah dia rintis sejak 2006 itu.
Setan Merah paling laris
Sejauh ini, dari sekian banyak kostum klub dan negara yang beredar di pasar Indonesia, jersey klub Manchester United (MU) dan AC Milan, merupakan yang paling banyak dicari. Maklum, dua klub itu memang yang paling populer sehingga berkorelasi dengan permintaan kostumnya.
Untuk kostum MU alias tim Setan Merah, selain jersey terbaru, kostum yang paling paling sering dicari adalah saat Liga Inggris 1992-93. Alasannya, musim tersebut merupakan tonggak dari kebangkitan MU yang ditandai trofi pertama berkat sentuhan pelatih Sir Alex Ferguson. Di toko milik Dedy sendiri, pada 2012 terjual tak kurang 600 kostum MU. Untuk 2013 ini, targetnya 1.500 kostum.
Sementara di toko Septo, situasinya mirip. Tahun 2012 ia sukses menjual 700 kaos MU yang kebanyakan edisi musim 2010-11 dan klasik. “MU masih yang paling banyak peminatnya di Indonesia. Sebagus-bagusnya klub-klub lain, rasa-rasanya sulit menggesernya, ” kata Septo yang notabene adalah napoletani alias penggemar berat klub S.S. Napoli ini.
Di luar dua kostum favorit itu, ada beberapa kostum edisi spesial yang juga tak kalah laris. Dedy mencontohkan jersey centenary-nya Juventus yang berwarna pink pada musim 1996-97. Ada juga Inter Milan edisi 100 tahun dengan corak salib merah di tengahnya. Rata-rata, jersey semacam itu bisa dijual seharga Rp2-4 juta per buah. Wow!
Menyasar pasar offline
Maraknya penjualan jersey sepakbola ini memang tidak lepas dari maraknya penjualan online. Baik Dedy maupun Seto mengakui kedahsyatan pasar di internet ini. Khusus Dedy, bahkan 80% pesanan berasal dari dunia maya. Sisanya barulah yang dipajang di kiosnya yang berada di bilangan Blok M, Jakarta Selatan.
Sementara Septo, penjualan online-nya lebih besar lagi, yakni mencapai 95%. Karena itu salah satu target yang dikejarnya adalah memperluas penjualan offline alias secara langsung. Antara lain langkah yang telah dilakukannya adalah memaksimalkan kios yang sekarang ada serta membuka kios baru sebagai cabang. “Mudah-mudahan bisa dalam waktu dekat,” harap Septo.
Langkah memperkuat pasar secara langsung ini tentu konse-kuensinya sangat jelas. Mereka harus siap bertarung dengan pedagang jersey KW serta sport center di pusat perbelanjaan. Menghadapi “big match” ini, nyali Dedy tidak lantas ciut. Seperti dalam keyakin-annya, semahal apa pun harga kos-tum asli, tak lantas membuat fans fanatiknya enggan membeli
Source | : | majalah intisari |
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR