Waktu Muda Raja Bhumibol Adulyadej Suka Ngebut dan Ngejazz

Agus Surono
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Bhumibol (kiri) bersama kakaknya di Lausanne, Swis, 22 September 1935
Bhumibol (kiri) bersama kakaknya di Lausanne, Swis, 22 September 1935

Intisari-Online.com - Sebelum menjadi raja, Bhumibol Adulyadej hidup sebagai orang biasa saat menjalani pendidikan di Danau Jenewa bagian barat Swis. Sebuah buku baru, Un roi en Suisse – La jeunesse helvétique du roi Bhumibol de Thaïlande (Seorang Raja di Swis - Kehidupan Masa Remaja Raja Thailand Bhumibol) ditulis dalam bahasa Prancis oleh penulis buku dan wartawan Swis, Olivier Grivat, menceritakan soal anak remaja pemalu, yang haus akan pengetahuan dan memupuk kecintaan akan musik jazz dan mobil kencang.

Musik dan sastra lekat dalam kehidupan masa kecil Bhumibol. Lihatlah selarik puisi yang ditulis bersama kakaknya, Ananda Mahidol, untuk mbak mereka yang berusia 18 tahun.

“Kecantikanmu memudarkan kemegahan bunga-bunga, warna kulitmu membuat mawar “merah muka’nya. Kulitmu mencemoohkan kelembutan satin. Kamu seorang malaikat, kembang kemanusiaan … Aku berharap bisa hidup dan mati dalam kue-kuemu …. Maksud saya, di sisimu!”

Ketika ayahnya yang Raja Thailand meninggal, sang kakak masih kecil untuk menjadi seorang Raja. Oleh karena itu, wali pangeran, yakni sang paman yang bernama Pajadhipok, menggantikan tugas sebagai Raja.

Bhumibol dan saudaranya kemudian dibawa Ibu mereka ke Lausanne, Swis. Ibunya berprinsip bahwa seorang raja haruslah orang yang berpendidikan, yang bisa bekerja keras, dan harus belajar patuh sebelum memberi perintah. Prinsip seperti itu belum pernah terdengar pada waktu itu. "Tak seorang pun akan berani mengatakan sesuatu seperti itu kepada raja-raja sebelumnya,” kata Grivat.

Selama beberapa tahun Ananda melanjutkan hidup di pinggiran Danau Jenewa, bersama ibunya, kedua adiknya Galyani dan Bhumibol. “Saya tidak bahagia menjadi raja sebab saya lebih suka menjalani hidup yang menyenangkan,” kata Ananda waktu berusia 10 tahun.

Ananda kembali ke negaranya pada 1945. Tapi kemudian meninggal secara misterius. Bhumibol menggantikannya lima tahun kemudian.

Nyaris meninggal karena menabrak truk

Ketika Ananda meninggal karena sebuah luka tembakan pada 1946, Bhumibol menjadi pewaris sah tahta Kerajaan Thailand. Dalam usia 19 tahun, Bhumibol dikenal sebagai mahasiswa pintar di Universitas Lausanne. Ia mempelajari sains namun pindah ke politik dan hokum karena bidang itu lebih pas dengan peran yang akan disandangnya kelak.

Mata kuliah yang diambilnya meliputi Marxisme, yang dia deskripksikan sebagai “kebalikan dari apa yang dibutuhkan rakyat saya.” Menurut Grivat, pendidikan yang ketat diberikan kepada pangeran muda dan adiknya sebagai hasil dari keyakinan Ibunya akan kekuatan pendidikan.

Akan tetapi, meskipun Bhumibol mengindahkan saran ibunya, ia juga memiliki kesenangan sendiri: ski, melaut, dan mobil kencang. Yang terakhir itu hampir merenggut nyawanya ketika Fiat Topolinonya menabrak bagian belakang truk di pinggiran Lausanne pada 4 Oktober 1948.

Bhumibol memang dikenal sebagai sopir yang terampil, menyusuri jalan khusus motor antara Lausanne dan Jenewa pada kecepatan rata-rata 140 km/jam. Apa yang saat ini dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab bisa dianggap sebagai tindakan olahragawan pada saat itu, kutip Grivat.

“Tak ada batas kecepatan saat itu, jalanan masih lengang, dan perilaku orang terhadap mobil saat itu sangat berbeda dibandingkan sekarang,” kata Grivat.

Bhumibol juga sering melakukan perjalanan ke Paris menggunakan mobilnya untuk menikmati konser jazz.

Musik klasik, khususnyay Bach, merupakan dasar untuk pendidikannya sejak awal kehidupan Bhumibol. Namun, beranjak dewasa saat mendengarkan musik Amerika dari radio mengembangkan kecintaannya akan music.

Bhumibol belajar saksofon dan bergabung dengan raksasa jazz seperti Benny Goodman, Stan Getz, Lionel Hampton, dan Benny Carter. Ia juga menulis sekitar 40 lagu untuk dirinya sendiri mulai dari blues hingga waltz.

Lebih fasih bahasa Prancis

“Kisahnya selalu membuat saya terpesona. Meskipun saat ini hanya mereka yang berusia antara 60 dan 70 tahun yang masih ingat bahwa keluarga kerajaan Thailand pernah tinggal di sini,” kata Olivier Grivat, memberi alasan mengapa ia tertarik menulis buku soal Bhumibol. Ia melacak kehidupan masa muda Bhumibol di Lausanne.

Grivat menghabiskan waktu dua tahun untuk menelisik kehidupan Bhumibol, menggali dokumen di arsip, membaca artikel-artikel di koran tua dan laporan polisi pada kurun waktu itu, dan bertemu dengan banyak orang. Banyak informasi dan kejadian lucu yang dihimpunnya. Seperti digigit anjing, masuk dan mencuri di kebun tetangga, serta perjalanan ke gunung.

Namun buku Grivat melampaui hal-hal kecil dalam kehidupan, dan meliputi bab kontekstual dalam sejarah Thailand. Buku itu menceritakan fakta-fakta suksesi tahta Ananda menyusul kudeta melawan Raja Pajadhipok pada 1932.

Pada musim semi 1950, Bhumibol kembali ke Thailand. Setelah menghabiskan masa 17 tahun dari 23 tahun umurnya di Swis, ia lebih fasih berbicara dalam bahasa Prancis dibandingkan dengan bahasa ibunya.

Beberapa minggu sebelum penobatannya di istana kerajaan di Bangkok, ia menikah dengan Putri Sirikit yang dijumpainya di Lausanne. Pada bab ini buku Grivat soal Bhumibol berakhir. Pada saat yang sama, dimulailah sebuah era dalam kehidupan sebagai Raja.

Buku setebal 230 halaman dengan 65 foto bersejarah itu sempat dilarang peredarannya. Namun, pengadilan membatalkan hal itu dan mulai 10 November 2011 boleh dijual kembali.