Intisari-Online.com -Menjadi albino di Tanzania adalah musibah. Bagaimana tidak; mereka diburu, dibantai, diambil organ tubuhnya, lalu dijual kepada para dukun untuk keperluan ilmu sihir.
Penganiayaan terhadap albino berakar pada keyakinan bahwa bagian tubuh mereka dapat menghadirkan kekayaan dan keberuntungan dan kekuatan magis. Menjadi paradoks, mereka juga dikucilkan dan dianggap sebagai kutukan dan membawa sial.
Albino atau albinisme merupakan kelainan genetik yang ditandai oleh kurang melanin pada kulit, rambut, dan mata. Mereka rentan sekali terserang kanker kulit.
Tanzania diperkirakan memiliki populasi albino terbesar di seantero Afrika. Baru-baru ini wartawan foto Ana Palacios berhasil mengunjungi salah satu pusat perlindungan albino di Kabanga di Tanzania. Ia ingin mengetahui lebih dalam bagaimana para albino bertahan hidup—dari para pemburu albino.
Tanzanian Albinism Society memperkirakan terdapat sekitar 8.000 laki-laki, perempuan, dan anak-anak albino yang terdaftar. Jumlah ini disebut masih sangat sedikit, sangat jauh jika dibandingkan dengan penduduk albino lain yang memilih untuk hidup dalam “persembunyian”.
“Pemerintah Tanzania semestinya menderikan pusat-pusat khusus untuk melindungi orang-orang dengan albinisme,” ujar Palacios. “Orang-orang ini telah meninggalkan desa mereka karena takut dibantai oleh pemburu yang akan menjual anggota tubuh mereka ke dukun-dukun untuk sesembahan.”
Menurut Palacios, bahkan ada bebearpa warga albino yang berada di penampungan adalah penyintas; ada yang bagian tubuhnya cacat, ada yang pernah diperkosa karena dianggap bisa menyembuhkan AIDS; ada yang terasing dari komunitasnya; ada juga yang ditinggalkan keluarganya sendiri karena malu.
Di beberapa wilayah di Tanzania, anak yang lahir albino dianggap sebagai cacat bagi keluarga. Mereka kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan. Dalam beberapa suku, anak albino bahkan akan langsung dibunuh ketika lahir, ditinggalkan, atau ditawarkan untuk ritual pengobatan.
Palacios percaya, pendidikan adalah cara terbaik untuk menghentikan praktik ini. Selain itu, tentu saja sistem peradilan harus ditegakkan supaya para pemburu ini tidak bisa sewenang-wenang memenggal kepada bocah-bocah albino.
“Anak-anak dengan albinisme sangat rentan jika terpapar sinar matahari langsung, sehingga mudah terserang kanker kulit,” ujar Palacios.
Setelah dari Kabanga, Palacios pergi ke Moshi untuk mengunjungi Regional Dermatology Training Centre. Ia sana ia ingin tahu lebih lanjut perihal pekerjaan penyelematan nyawa yang dilakukan tim dermatologis Spanyol yang terdiri atas tim bedah plastik, ahli anestesi, dan perawat, dengan pimpinan Dr Pedro Jaen.
Tim ini pertama kali datang ke Moshi pada 2008. Mereka kembali datang ke tempat ini tiap setahun sekali untuk mengobati dan mengoperasi warga albino yang didiagnosis kanker kulit. Sampai saat ini, tim ini telah mengobati setidaknya seribu pasien albino.
Tak sekadar mengobati, tim ini juga mengadakan lokakarya tentang dermatologi onkologi dan dermatopatologi di beberapa wilayah di Afrika Timur. Selain itu, Ana berharap, foto-fotonya bisa membuka mata dunia untuk melihat penderitaan masyarakat albino di Afrika.(Metro.co.uk)