Intisari-online.com-- Rupanya dari seribu alasan yang ada untuk mengundurkan diri dari sebuah perusahan, alasan yang paling sering terjadi adalah faktor emosional. Kalau bahasa populer zaman sekarang disebut baper alias bawa perasaan.
Walau resign adalah fenomena yang lumrah, hampir semua orang gundah dibikinnya. Haruskah saya resign? Apakah keputusan saya ini tepat? Pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan betapa keputusan untuk resign tidak semudah yang dipikirkan.
Seperti yang dialami oleh Fabian (30) sales manager sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Tadinya ia bekerja di perusahaan serupa yang bergerak di industri pengolahan makanan. Namun tawaran menggiurkan datang, ia memutuskan untuk resign dan pindah ke tempat yang baru dengan posisi yang sama. Istilahnya, Fabian ‘dibajak’ oleh perusahaan yang baru.
Tapi ternyata, nama jabatan yang sama sebagai sales manager jauh berbeda dengan yang biasa dikerjakan Fabian. Lingkungan dan suasana kerja di kantor yang baru justru membuatnya tidak nyaman. Seketika penyesalan pun muncul. Keputusan Fabian untuk resign dari perusahaan lama ternyata tidak tepat untuk pengembangan kariernya.
Cerita ini semakin menguatkan bahwa sebenarnya resign atau tetap loyal merupakan pilihan yang perlu dicermati dengan sebaik-baiknya. Biar tidak menyesal di kemudian hari.
Paling banyak, kata Dr. Andin Andiyasari Career Coach di Konsultan Karir Jakarta, yang jadi alasan seorang pekerja resign adalah faktor emosional. Jenisnya bisa bermacam-macam. Mulai dari tidak cocok dengan atasan langsung, hingga suasana kerja yang dianggap tidak nyaman.
Bahkan riset dari Gallup Inc AS pada 7.200 orang pekerja di tahun 2015 menyebutkan bahwa setengah dari jumlah tersebut meninggalkan pekerjaannya karena tidak cocok dengan manager atau atasan langsung. Atasan yang terlalu berlebihan dalam mengawasi bisa menjadi racun yang membuat hubungan menjadi tidak nyaman. Bahkan situs About.com menyatakan bahwa atasan yang buruk merupakan alasan nomor satu karyawan meninggalkan perusahaan.
Mungkin kita sama-sama menganggukan kepala tanda setuju dengan pernyataan di atas. Sebab memang kenyataannya begitu. Tapi, ada satu hal yang perlu diuji. Apakah keputusan resign itu berdasar kepada keyakinan yang sudah teguh atau sekadar pengaruh emosional semata. Persoalan baper tadi justru mesti dipertimbangkan baik-baik, agar tidak menyesal seperti Fabian tadi.
Agar tidak hanya sekadar perasaan emosional semata, perlu ada pertimbangan yang lebih rasional, yaitu pengembangan karier. Terlepas dari berbagai alasan yang sifatnya pribadi seperti finansial misalnya, alasan pengembangan karier merupakan konsep paling ideal sebelum memutuskan untuk resign.
Pilihan mengundurkan diri tentu ada risiko dan konsekuensinya. Karena itu pikirkan konsekuensi jangka panjangnya. Jangan hanya sekadar tergiur dengan kenaikan gaji, namun ternyata perusahaan yang baru memiliki budaya kerja yang tidak cocok dengan diri kita. Penting untuk melakukan riset terlebih dahulu untuk tempat kerja baru yang ingin dituju.
Resignlah dengan kepala dingin dan penuh pertimbangan. Semisal kita belum stabil secara finansial, sebaiknya tunggu dulu hingga ada pegangan. Jangan putuskan keluar alias nekad resign karena tidak tahan lagi. Namun setelahnya malah semakin tertekan karena tidak ada uang. Dalam hal ini cobalah membuat jangka waktu bagi diri sendiri. Misalnya targetkan selama tiga bulan sebelum resign untuk aktif mencari pekerjaan baru. Sehingga tidak ada ada masa jobless.
Simak juga ulasan “Kapan Waktu Tepat Untuk Resign”