Menabur untuk Menuai

K. Tatik Wardayati

Editor

Menabur untuk Menuai
Menabur untuk Menuai

Intisari-Online.com – Alkisah, ada sebuah rumah yang paling indah di kota, dan orang sangat menyukai rumah itu. Banyak orang bersiap untuk membeli dengan harga berlipat untuk rumah itu, tapi pemiliknya selalu tidak pernah setuju untuk harga yang ditawarkan dan sekarang, rumah itu terbakar di depan matanya!

Ribuan orang telah berkumpul, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan, api telah menyebar begitu jauh meski begitu banyak orang mencoba untuk memadamkannya. Alhasil rumah itu tidak terselamatkan. Pria itu menjadi sangat sedih.

Anaknya datang berjalan menghampiri pria itu dan membisikkan sesuatu di telinganya, “Jangan khawatir, saya telah menjualnya kemarin dengan harga yang sangat bagus, tiga kali lipat! Tawaran itu begitu baik sampai saya tidak bisa menunggu Bapak. Maafkan saya.”

Ayahnya berkata, “Terima kasih Tuhan, itu bukan miliki kita sekarang!” Kemudian pria itu santai dan menjadi pengamat seperti seribu orang lainnya.

Bayangkan! Ini adalah rumah yang sama, apinya, semuanya sama, tapi sekarang ia tidak peduli. Bahkan mulai menikmati sama seperti orang lain di keramaian.

Kemudian anaknya yang kedua datang berlari dan ia berkata kepada ayahnya, “Apa yang Ayah lakukan? Tersenyum saat rumah terbakar?”

Ayahnya berkata, “Apakah kamu tidak tahu, saudaramu telah menjualnya.”

Anaknya yang kedua berkata lagi, “Kami baru mengambil uang mukanya, belum terselesaikan sepenuhnya. Saya rahu sekarang apakah orang itu akan membelinya sekarang.”

Sekali lagi, semuanya berubah!

Air mata yang tadi menghilang, kini kembali ke mata sang ayah. Senyumnya tidak lagi terlihat, jantungnya berdetak cepat.

Kemudian anak ketiga datang, dan katanya, “Tadi ada seorang laki-laki yang datang menyampaikan pesan. Katanya, tidak peduli apakah rumah itu terbakar atau tidak, itu milik saya. Dan saya akan membayar harga yang telah disepakai. Anda atau saya tidak akan pernah tahu bahwa rumah akan terbakar.”

Sekali lagi sukacita menghampiri keluarga itu. Dan kemudian mereka kembali memandangi rumah mereka yang telah menjadi abu.

Sebenarnya, tidak ada yang berubah. Hanya perasaan bahwa “Saya adalah pemilik! Saya bukan pemilik rumah!” yang membuat seluruh perbedaan.

Sebagian besar pengalaman bukan milik kita tapi dari orangtua, guru, teman, buku-buku, film, televisi, surat kabar. Kita hitung berapa banyak pengalaman kita sendiri, dan kita akan terkejut bahwa tidak satu pun pikiran adalah kita sendiri. Semua berasal dari sumber-sumber lain, semua dipinjam, atau dibuang oleh orang lain, tapi tidak ada yang milik kita.

Menabur pikiran, maka kita akan menuai tindakan. Menabur tindakan, maka kita akan menuai kebiasaan. Menabur kebiasaan, maka kita akan menuai karakter. Menabur karakter, maka kita akan menuai nasib.