Intisari-Online.com - Dalam rangka merayakan ulang tahun yang ke-50, Intisari memuat artikel-artikel lama dengan tema yang dianggap relevan dengan kondisi saat ini. Berikut ini artikel Intisari edisi Agustus 1985 dengan judul asli "Pasar Tanah Abang 250 Tahun."
Bersamaan dengan berkembangnya daerah Tanah Abang berkat adanya pasar, Tanah Abang pun terkenal sebagai tanah kuburan. Letaknya yang di pinggiran kota cocok sekali untuk dijadikan pekuburan. Begitu terkenalnya sampai-sampai orang Belanda dulu berseloroh: "terug naar Tanah Abang", yang maksudnya ke liang kubur.Menurut catatan, Pekuburan Tanah Abang ini mulai dibuka pada tahun 1795. Banyak orang terkenal yang dimakamkan di sini. Jenazah yang berasal dari kota dan hendak dikuburkan di Tanah Abang dibawa dengan perahu lewat Kali Krukut yang mengalir di timur kuburan. Di Pekuburan Tanah Abang ini bermacam cita rasa, latar belakang dan perasaan diekspresikan dalam bentuk tulisan, gayaserta patung di batu nisan. Ada yang bergaya romantis, memakai menara bergaya gothik, patung bayi tidur, salib dari marmer, dan sebagainya.Selain Tanah Abang, kuburan lainnya ada di Kebon Jahe, Kota Bambu dan Petamburan. Pamornya sebagai tanah kuburan semakin naik semenjak dibukanya Kuburan Karet tahun 1809.Tahun 1976 Pekuburan Tanah Abang ditutup dan dibongkar. Di atas sebagian besar tanahnya kini berdiri Kantor Walikota Jakarta Pusat. Bekas sisanya yang lain kini dijadikan Taman Prasasti, yang terletak di Jalan Tanah Abang I. Di sini dapat ditemukan batu nisan dari periode yang berbeda-beda, bahkan dari masa satu abad sebelum kuburan ini dibuka. Bagaimana mungkin?Dulu, waktu gereja-gereja tua beserta pekarangannya di kota dibongkar di awal abad ke-19, beberapa batu nisannya dibawa ke kuburan baru Tanah Abang. Beberapa ada yang dijual, tapi akhirnya ditemukan kembali dan dibawa ke Tanah Abang. Sebagian batu-batu nisan itu disisipkan di tembok luar Taman Prasasti, yang lainnya diletakkan di halaman dalam.Tanah Abang pernah juga jadi pangkalan 'taksi'. Jenis kendaraan yang pernah beroperasi antara lain Ebro, kendaraan bertenda dan beroda empat yang ditarik dua ekor kuda. Orang Belanda menyebutnya Brik. Selain itu ada juga sado.Kemudian muncul trem kuda; kereta ditarik kuda, yang bila mau berangkat ditandai dengan tiupan tanduk kerbau sebanyak tiga kali oleh kepala stasiun. Di jalan menanjak seringkali harus minta bantuan tenaga kerbau. Yang bikin jengkel kalau kebetulan kuda lagi ngadat, perjalanan bisa jadi tersendat-sendat. Kudanya selalu menggigit besi kendalinya. Barangkali dari sinilah lahir istilah "zaman kuda gigit besi". Jurusan trem kuda ini adalah dari Pasar Ikan lewat Stasiun Kota (Beos) terus ke Tanah Abang.Tahun 1887 trem kuda dipensiunkan dan digand dengan trem uap. Naik trem uap ini pun tidak selalu lancar. Uap untuk lokomotifnya dijatah cukup untuk sekali jalan. Padahal di tengah jalan sering kehabisan uap. Mungkin karena udara dingin. Untuk bisa melaju lagi harus menunggu datangnya lokomotif baru dari pusatnya di Kramat. Ini tentu saja sering membuat penumpangnya jengkel. Trem uap dari Senen ke kota singgah di Tanah Abang dan kembalinya selalu mengangkut ikan basah dari Pasar Ikan.Menurut data yang ada, trem uap ini kabarnya sering melindas orang. Rata-rata seharinya empat orang kena dilindasnya. Sampai nama perusahaan pengelolanya, NITM (Nederlandsche Indische Tramweg Maatschappij), diejek orang dengan 'Naik Itu Tentu Mati'.Sesudah trem uap dianggap ketinggalan zaman, muncul trem listrik. Tapi trem uap tetap dioperasikan sampai tahun 1933. Trem listrik pun akhirnya dihapus dari Jakarta oleh Pemda DKI, karena wajah kota jadi semrawut dibuatnya dengan kabel-kabel listrik yang simpang siur di atas jalan.(Bersambung)